Agar Jangan Sampai Dikatakan...
Ini bukan sembarangan kisah yang direka-reka oleh seorang penulis novel fiktif. Untuk yang kesekian kalinya cerita para sahabat membuat mata berkaca-kaca, hati ini berdegup kecang, rindu rasanya untuk bertemu sosok-sosok seperti itu.
Yang satu ini benar-benar terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Suatu saat khalifah Umar sedang duduk di bawah pohon kurma yang berada di dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Dari kejauhan datanglah seorang pemuda lusuh yang dipegangi oleh dua orang pemuda lainnya.
Yang satu ini benar-benar terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Suatu saat khalifah Umar sedang duduk di bawah pohon kurma yang berada di dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Dari kejauhan datanglah seorang pemuda lusuh yang dipegangi oleh dua orang pemuda lainnya.
Ketika
sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu
berkata, “Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin! Qishash-lah pembunuh Ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”
Umar
segera bangkit dan berkata, “Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh
Ayah mereka wahai anak muda?”
Pemuda
lusuh itu menunduk sesal dan berkata, “Benar wahai Amirul Mukminin.”
”Ceritakanlah
kepada kami kejadiannya”, tukas Umar.
Pemuda
lusuh itu memulai ceritanya, ”Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku
mempercayakanku untuk menyelesaikan suatu urusan muamalah di kota ini. Sesampainya Aku di kota ini, kuikat untaku
pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, Aku sangat
terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Rupanya untaku
terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh Aku
sangat marah, segera kucabut pedangku dan kemudian kubunuh Ia. Ternyata Ia
adalah Ayah dari kedua pemuda ini.”
“Wahai
Amirul Mukminin, kau telah mendengar
ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu,” sambung pemuda yang Ayahnya
terbunuh. ”Tegakkanlah had Allah atasnya!” Timpal yang lain.
Umar
tertegun dan bimbang mendengar cerita pemuda lusuh itu. ”Sesungguhnya yang
kalian tuntut ini pemuda shalih lagi
baik budinya. Dia membunuh Ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat,”
“Izinkan
Aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan Akulah yang akan membayarkan diyat
atas kematian Ayahmu,” lanjut Umar.
“Maaf
Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda
masih dengan mata marah menyala, “Kami sangat menyayangi Ayah kami, dan kami
tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.”
Umar
semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang
dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab. Tiba-tiba si pemuda lusuh
berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah
hukum Allah, laksanakanlah qishash
atasku. Aku ridha dengan ketentuan
Allah” ujarnya dengan tegas, ”Namun, izinkan Aku menyelesaikan dulu urusan
kaumku. Berilah Aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk di-qishash.”
“Mana
bisa begitu?” ujar kedua pemuda.
“Nak,
tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?” tanya Umar. ”Sayangnya
tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana
pendapatmu jika Aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?”
pemuda lusuh balik bertanya.
“Baik,
Aku akan meberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar
kamu kembali untuk menepati janji.” kata Umar.
“Aku
tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku
wahai orang-orang beriman,” rajuknya.
Tiba-tiba
dari belakang hadirin terdengar suara lantang, “Jadikan Aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin!” sernyata Salman al
Farisi yang berkata.
“Salman?”
hardik Umar marah, “Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main
dengan urusan ini.”
”Perkenalanku
dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar dan Aku mempercayainya
sebagaimana engkau percaya padanya”, jawab Salman tenang.
Akhirnya
dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda
itu pun pergi mengurus urusannya. Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda
kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai
bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda
itu menghilang ke negeri yang jauh. Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai
meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman.
Salah satu sahabat Rasulullah saw yang paling utama.
Matahari
hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan
si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua
pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.
Akhirnya tiba waktunya pelaksanaan hukum qishash,
Salman dengan tenang dan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai
terisak. Bagaimana tidak? Orang seutama Salman akan dikorbankan.
Tiba-tiba
dari kejauhan terlihat sesosok bayangan berlari terseok-seok. Jatuh, bangkit,
kembali jatuh, lalu bangkit kembali.
”Itu
dia!” teriak Umar, “Dia datang menepati janjinya!”
Dengan
tubuh bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di
pengkuan Umar.
”Hah..
hah.. maafkan... maafkan... Aku...” ujarnya dengan susah payah, “Tak kukira...
urusan kaumku... menyita... banyak... waktu... kupacu... tungganganku... tanpa
henti, hingga... Ia sekarat di gurun... terpaksa kutinggalkan... lalu Aku
berlari dari sana.”
”Demi
Allah,” ujar Umar menenanginya dan memberinya minum, “Mengapa kau susah payah
kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?”
”Agar
jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin tak ada lagi kesatria
yang menepati janji.” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.
Mata
Umar berkaca-kaca. Sambil menahan haru lalu Ia bertanya, “Lalu kau Salman,
mengapa engkau mau menjamin orang yang
baru saja kau kenal?”
”Agar
jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi rasa saling
percaya dan mau menanggung beban saudaranya,” Salman menjawab dengan mantap.
Hadirin
mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu. ”Allahu Akbar!”
tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak, “Saksikanlah wahai kaum Muslimin,
bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu.”
Semua
orang tersentak kaget. “Kalian...” ujar Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa
kalian..?” Umar semakin terharu.
”Agar
jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau
memberi maaf dan sayang kepada saudaranya.” ujar kedua pemuda.
”Allahu Akbar!” teriak muslimin. Pekik takbir membahana melengkapi indahnya skenario yang Allah persiapkan untuk dijadikan pelajaran bagi generasi berikutnya. Pecahlah
tangis bahagia, haru dan bangga dari semua orang.
*Catatan kaki:- Qishash, yaitu hukuman yang berlaku bagi muslim yang menganiaya muslim lainnya. Dalam hal ini qishash yang berlaku bagi muslim yang membunuh muslim lainnya adalah dibunuh atau diyat 100 ekor unta. Nyawa dibalas dengan nyawa.
- Had, yaitu hukuman sama dengan iqab
- Had, yaitu hukuman sama dengan iqab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar