"Seringkali ada orang belajar agama secara dangkal, dan belajar filsafat secara dalam. Lalu, dia gunakan kedalaman filsafatnya untuk menghujat agama yang ia pahami itu. Sungguh tidak fair... 
Mungkin ia lupa, bahwa sebenarnya ia tak sedang menghujat agama. Ia sebenarnya sedang memaki kedangkalannya sendiri... 
Atau, jangan-jangan iapun belum belajar fiilsafat secara dalam. Karena tugas filsafat adalah bertanya, bukan menghujat
~ Adriano Rusfi ~
Dalam hal bertanya akan ketentuan-Nya mungkin kita perlu banyak belajar dari salah satu cerita yang terdapat dalam Al Quran, yaitu ketika malaikat, sosok yang paling taat kepada Rabb-nya dan tidak pernah mengkianati Nya bertanya kepada Allah tentang penciptaan Nabi Adam 'alaihissalam. Cuplikan kisahnya bisa kita baca dalam surat Al Baqarah
“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat,
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi’,
Malaikat bertanya,
Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’
Kemudian Allah menjawab,
‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dari segi bahasa kita dapat mengethui bagaimana cara malaikat bertanya. Saat itu malaikat bertanya dengan lafadz "ataj'alu" yang berarti "apakah" bukan dengan "limadza" yang berarti "mengapa"
Sudah mendapatkan kuncinya? Setelah malaikat mendapatkan jawabannya apa yang terjadi? Ya, malaikat bertanya bukan untuk membantah, mengkritisi atau mempertanyakan, mereka bertanya hanya sekadar untuk mengkonfirmasi dan memverifikasi saja. Bertanya untuk menyerah.
Berbeda dengan para filsuf yang meski sudah dijelaskan jawaban untuk pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya mereka belum tentu mau menerima jawaban kita. Itulah sebabnya mereka kebingungan, terus berputar-putar pada tempat yang sama, terjebak dalam kubangan lumpur dan merasa betah terus menerus berada disitu. Malang sekali nasib mereka. Bagi mereka proses bertanya itu masih jauh lebih penting daripada menemukan jawaban itu sendiri.

Berbeda dengan muslim yang menerima apa-apa yang diberitakan sesuai dengan redaksinya. Tapi bukan pula seperti sebuah doktrin yang harus dibenarkan apapun alasannya. Kita muslim menerimanya dengan keimanan, menerima dengan ilmu, menerima dengan kerendah hatian. Da manusia mah apa atuh dibandingkan dengan Pencipta-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar