Gunung Abu Qubais |
Saat itu merupakan
salah satu saat terberat bagi teladan kita. 70 sahabatnya terbunuh, salah satunya berdiri di harapan beliau sebagai tameng dari panah-panah yang dilepaskan kepadanya, barisan muslim porak poranda, menancap di pelipisnya tiga
cincin besi yang membuat darah mengucur, ditambah dengan syahidnya paman yang
beliau cintai oleh tombak Wahsy. Bukit Uhud saat itu menjadi saksi dari salah satu peristiwa menyejarah bagi kita yang
banyak memberikan pelajaran akan pentingnya sebuah ketaatan kepada pemimpin.
Suatu ketika, ibunda kita 'Aisyah yang tengah
bersandar di bahu teladan kita bertanya, “Wahai Rasulullah, pernahkah kaualami
hari yang lebih berat daripada ketika uhud?”
Rupanya masih ada saat yang lebih berat dari peristiwa di bukit Uhud itu. Apa jawab beliau?
Meski sudah mengalami berbagai
saat berat dalam jalan dakwahnya, kehilangan banyak orang yang beliau
cintai, namun jawab beliau bukanlah ‘aamul
huzni, saat dimana beliau harus kehilangan Khadijah dan Abu Thalib, Bukan pula saat beliau kehilangan kedua orang tua yang amat beliau cintai. Teladan kita bercerita:
“Aku mendatangi para pemimpin Thaif; Abdu Yalali ibn 'Amr, Mas’ud ibn 'Amr dan Hubaib ibn 'Amr AtsTsaqafy untuk mengajak mereka kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata, ‘Tirai Kabah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul!’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tidak punya orang lain untuk diutus?!’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau berbicara denganmu! Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika bukan Rasul, maka tak layak Aku berbicara dengan seorang pendusta!’
Abu Qubais dan Qa’aiqa’an, disebut juga sebagai Akhsyabain adalah
nama dari sepasang gunung yang berada di dekat Thaif kala itu. Melihat
Rasulullah terluka dan berjalan tertatih-tatih, bercak merah dari luka yang mulai mengering melumuri kakinya yang mulia, malaikat Jibril pun datang bersama dengan malaikat penjaga gunung untuk membantu beliau.
“Wahai Rasulullah,” ucap malaikat penjaga
gunung, “Ya Nabiyallah, ya Habiballah perintahkanlah,
maka Aku akan membalikkan gunung akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan
mereka yang tealh ingkar, mendustakan, menista , mengusir dan menyakitimu.”
Lalu kita semua pun mengenal jawaban beliau yang terekam baik dalam sejarah. Jika saja saat itu kita yang diberikan tawaran itu apakah yang akan kita lakukan? Mungkin mengiyakan tawaran dari malaikat penjaga gunung hingga terobati sudah semua lelah, luka dan kesakitan yang kita alami kala itu. Hancurlah Thaif dan puaslah kita melihat merek diadzab oleh Allah melalui malaikat penjaga gunung, akan tetapi...
“Tidak,” jawab beliau, “Sungguh, Aku ingin agar diriku
diutus sebagai pembawa rahmat, bukan pemberi adzab. Bahkan, Aku ingin agar dari
sulbi-sulbi mereka, dari Rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak
keturunan yang mengesakan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Terbuktilah cintanya...
Saat terberat bagi teladan kita
bukanlah saat dimana sahabat-sahabat yang senantiasa menemani perjalanan beliau syahid di medan peperangan. Bukan
pula saat dimana beliau kehilangan orang-orang yang amat beliau cintai.
Saat terberat baginya ialah saat ketika wewenang untuk membalas perbuatan itu digenggamnya penuh-penuh. Yang terberat adalah ketika dalam gemuruh sakit lahir dan batin, peluang pelampiasan itu dibentangkan baginya
Tapi…
Terujilah jiwanya...
Terbuktilah cintanya...
Ialah hujjah bahwa Ia ingin diutus sebagai pembawa kasih...
Adakah nilai hidup seindah pribadi ini? Yang terpuji namanya di langit dan di bumi
~ Terinspirasi dari buku Lapis-Lapis Keberkahan, Salim A Fillah ~
Shollu 'alaa Muhammad:')
BalasHapus