Bahasa berkembang sesuai dengan kebutuhan sebuah peradaban untuk memaknai sesuatu. Semakin kaya kosakata yang digunakan menunjukkan besarnya kebutuhan sebuah peradaban dalam memaknai hal-hal yang ada di sekelilingnya. Language berdasarkan The American Heritage Dictionary of English Language berasal dari bahasa Proto-Indo-Eropa dn̥ǵʰwéh₂s yang berarti "lidah, ucapan, bahasa" sementara dalam bahasa Latin berasal dari kata lingua yang bermakna "bahasa; lidah.” Dalam bahasa Arab berdasarkan Mu’jam Al-Wasith berasal dari kata لغة yang bermakna, “suara yang dengannya setiap kaum menunjukkan keinginannya.”

Di antara seluruh bahasa yang ada di dunia, bahasa Arab adalah bahasa yang memiliki keistimewaan menarik. Pemaknaan terhadap sesuatu dapat dengan baik diperoleh saat mencari tahu akar kata dari istilah yang digunakan untuk mendefinisikannya. Menjadi hal yang lebih istimewa lagi ketika istilah itu Allah sendiri yang memilihkannya dengan ilmu yang ada pada Nya melalui Al-Quran dan kata-kata Nabi-Nya. Maka dalam bahasa Arab kita mengenal istilah tuhan dengan padanan kata اله dan ربّ, agama dengan دِين, dan اسلام sebagai nama yang Allah pilihkan untuk sebuah syariat yang diturunkan kepada nabi Muhammad.

Salah satu akar kata دِين ialah دَين yang bermakna hutang.

Makna lebih dekatnya ialah panduan hidup, way of life. دَين Menunjukkan sebuah kondisi bahwa kita sebagai makhluk amat berhutang kepada khaaliq. Al-Insan bercerita mengenai hutang itu,


“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insaan: 1-3)

Tiga ayat pertama surat Al-Insan menjelaskan tentang bagaimana Allah mencipta manusia saat sebelumnya ia tidak dikenal sebagai apa-apa. Kemudian Allah memberi penglihatan dan pendengaran, mengaruniakan hidayah, dilanjutkan dengan anugerah-anugerah lainnya. Segala macam kenikmatan yang Allah berikan ini menjadi hutang bagi makhluq kepada khaaliq-nya.

Sebagai yang berhutang, beribadah adalah ekspresi cara membayarnya. 

Pun demikian, saat bercermin rasanya ibadah yang kita kerjakan tak mampu menebus nikmat di dunia terlebih kenikmatan yang akan Allah berikan di akhirat. Belum lagi jika menilai dosa, bahkan rasanya dosa kita masih jauh lebih banyak daripada kebaikan. Dalam urusan membayar hutang ini, rahmat Khaaliq lebih besar daripada usaha makhluq. Ar-Rahiim memberikan nilai dan balasan dosa setara satu sementara nilai dan balasan kebaikan menjadi 10 hingga 700 kali lipat kebaikan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Jika hamba-Ku bertekad melakukan kejelekan, janganlah dicatat hingga ia melakukannya. Jika ia melakukan kejelekan tersebut, maka catatlah satu kejelekan yang semisal. Jika ia meninggalkan kejelekan tersebut karena-Ku, maka catatlah satu kebaikan untuknya. Jika ia bertekad melakukan satu kebaikan, maka catatlah untuknya satu kebaikan. Jika ia melakukan kebaikan tersebut, maka catatlah baginya sepuluh kebaikan yang semisal  hingga 700 kali lipat.” (HR. Bukhari no. 7062 dan Muslim no. 129).

Lagi, dengan rahmat seperti ini kita yang berusaha membayar justru menjadi semakin berhutang.
Al-‘allamah syaikh Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan surat Yunus ayat 25-26 tentang balasan bagi kebaikan dan keburukan yang dikerjakan manusia. Adapun untuk kebaikan maka Allah berfirman, “orang-orang yang berbuat baik mendapatkan pahala yang terbaik dan tambahannya.” Maksudnya orang-orang yang berbuat kebaikan dan melaksanakan apa yang Allah perintahkan maka Allah sempurnakan balasannya di surga dengan tambahan lebih berupa melihat wajah Allah.

Berbeda dengan kebaikan, balasan bagi keburukan Allah berikan setimpal sesuai dengan keburukan yang dikerjakan seseorang sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Yunus ayat 27, “dan orang-orang yang megerjakan kejahatan mendapatkan balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan.” 

Lagi, rahmat Allah menjadikan balasan kebaikan berlebih sementara balasan keburukan setimpal. Sebagai yang berhutang, kita pun justru semakin merasa berhutang.

Sayangnya sebagai makhluq yang berhutang kepada Khaaliq, sejatinya kita tidak memiliki apa-apa untuk membayar hutang kita. Memaknai kembali makna agama menjadi diin menjadikan kita dapat lebih baik dalam memaknai tujuan kita berislam sehingga menghidupkan kembali istilah diin dalam mengistilahkan agama menjadi hal yang perlu disambut. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar