Coki Muslim Bukan Golongan Kami

Tulisan kali ini bukan dilatarbelakangi oleh canda nirfaedah dari coki pardede dan tretan muslim. Tulisan ini dibuat utamanya sebagai respon atas apa yang disampaikan seorang wartawan vice Indonesia di link berikut...

Polemik Candaan Prabowo dan Muslim-Coki Bukti Bangsa Kita Tak Berjodoh Sama Komedi

Setelah membaca tulisannya, Saya merasa ada begitu banyak hal yang hilang dalam analisa Ardyan M. Erlangga dalam membahas komedi coki muslim. Pun demikian menjadi menarik pembahasannya ketika kita mencoba mempelajari hal apa yang membuat penulis maupun beberapa komika di negeri kita berpikir bahwa membercandai agama tidak ada salahnya.

Sudut pandang wartawan vice, komika dan kita sebagai muslim memang berbeda. Keduanya seperti merasa bahwa Islam dan agama lain seharusnya sama, gak baperan soal membercandai agama. Kenapa seharusnya sama dengan agama lain? 9gag sudah terbiasa membuat guyonan soal Yesus tapi toh orang kristen bersikap biasa aja, tidak mendemo 9gag maupun mengecam pembuat bahan guyonan.

Akhirnya, merekapun menjadikan agama sebagai bahan candaan walaupun bukti bahwa agama Islam tidak bisa dijadikan bahan bercanda sudah ada dimana-mana dari respon umatnya terhadap candaan agama baik di dalam maupun luar negeri. Perlu contoh?

- Lihat kecaman terhadap Charlie Hebdo bahkan jauh sebelum serangan radikalis terjadi
- Remaja mengolok-olok gerakan shalat
- Tiga remaja mengolok ustadz Arifin Ilham terkait syariat poligami
- Tak perlu kasus besar, bahkan anak kecil memain-mainkan kata "Aamiin" dalam shalat aja bisa kena teguran jama'ah masjid

Dasarnya memang dalam agama Islam dan agama lain terdapat perbedaan dalam menanggapi perilaku membercandai agama. Kedudukan agama sebagai suatu simbol yang agung dan dimuliakan sudah mulai pudar sejak perilaku para pemuka agama justru menyebabkan bangsa Eropa terjatuh dalam masa kegelapan.

Berbeda halnya dengan Islam, membercandai agama secara sengaja tertuang jelas pembahasannya dalam pendapat berbagai ulama pada pasal istihza'. Hukumnya tidak main-main, perilakunya bisa menyebabkan kekafiran dan ini berlaku bagi siapapun tanpa terkecuali. Jika memang toleran maka sudah seharusnya para komika cukup cerdas untuk memahami bahwa membercandai agama Islam bukan hal yang bisa dinilai ringan. Hormati ajaran agamanya dan akui bahwa memang Islam berbeda dengan agama lain dalam menyikapi candaan agama. Jangan memaksakan sama pada hal yang sudah jelas berbeda.

Boleh Bercanda Asalkan Menjadi Pemuka Agama?


"Sacha merasa materi komedi dengan isu religi mustahil disampaikan di Indonesia, kecuali yang melontarkan adalah pemuka agama."

Sikap penulis yang mengangkat kutipan dari Sacha Stevenson terkait bolehnya menjadikan agama sebagai bahan bercanda juga bermasalah. Nampaknya penulis kurang info bahwa meski pemuka agama, dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia, membercandai agama adalah hal yang tidak bisa ditoleransi.

Mari tengok bagaimana respon umat terhadap dua ustadz muda yang tidak berniat bercanda namun salah dalam mengambil diksi. Beliau mengatakan bahwa Umar ibn Khattab dan nabi Musa adalah preman. Dalam kesempatan lain beliau juga mengambil diksi kekinian lainnya yang digunakan dengan niat mendekatkan diri dengan jama'ah yang mayoritasnya adalah anak muda. Akan tetapi beliau justru mendapat kritik dari ulama lain sebab dianggap tidak memiliki adab terhadap Allah dan para sahabat nabi. Selain itu terdapat pula pernyataan bahwa nabi Muhammad dahulu pernah tersesat sebelum menjadi nabi. Padahal pernyataan ini adalah usaha bersikap empatik terhadap jama'ah yang mayoritas adalah orang-orang yang baru hijrah dan banyak melakukan kesalahan, namun tetap saja diksi sembarangan tidak bisa digunakan dalam menyampaikan perkara agama.

Dalam mengangkat contoh komedian luar negeri, kita bisa melihat sikap dari komedian muslim seperti Dean Obeidillah. Dalam sebuah wawancarana bersama CNN dengan jelas ia mengatakan bahwa Ia tidak mau berurusan dengan membercandai agama -walau ia setuju jika kartun Nabi Muhammad boleh dipublikasikan dan tidak disensor oleh media- terlebih figur-figur yang ada di dalamnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki urusan untuk membercandai seorang nabi yang sudah wafat 15 abad yang lalu meski banyak orang memintanya membuat lelucon soal nabi Muhammad. Selain dikarenakan Obeidillah memilih untuk fokus membuat lelucon kepada para penguasa yang tidak becus, baginya ISIS, Al Qaeda lebih layak untuk dijadikan lelucon sebab baginya aksi mereka justru membuat Islam dibenci oleh banyak orang. Oleh sebab itu ia pun membuat film dokumenter komedi bernama, "The Muslims are Coming!" sebagai bentuk counter terhadap miskonsepsi masyarakat Amerika terhadap muslim pasca 9/11 dan pascalahirnya ISIS.

Dari Obeidillah kita bisa belajar bahkan meski pasar leluconnya ada sebab banyak orang meminta ia membuat lelucon soal nabi Muhammad bukan berarti kemudian menjadi pembenaran untuk melakukannya. Bahan candaan lain amat bejibun di luar sana, googling dikit kek.

Bukti  Pelawak Kita Tak Berjodoh Sama Kreativitas

Penulis pribadi dan mungkin kamu mengenal banyak sahabat yang pandai menghadirkan tawa dan menghangatkan suasana. Rasa-rasanya bahan bercanda di sekitar kita begitu banyak tanpa perlu mengangkat isu SARA atau fisik. Pengalaman hidup, kritik sosial, dad joke, atau humor receh yang banyak tersebar di media sosial semua bisa jadi bahan untuk bercanda. Ada begitu banyak topik selain SARA yang bisa diangkat.

Tapi kembali ke hukum dasar menjadi seorang komedian dan banyak bercanda: tidak baik.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda:

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati."
Juga dalam riwayat lain Rasulullah mengatakan, "Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia." HR. Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).

Jika memang memilih tetap menjadi komedian, dari sekian banyak bahan lawakan susah amat sih nyari ide? Googling dikit juga bisa kale.

"Nah kan keluar juga dalil-dalil agama gak jelasnya! Gak asik, sok alim lu kampret tukang kavling surga!" Ah sudahlah, jika kamu berpikiran seperti itu bisa jadi memang kamu...

Bukan Golongan Kami

Pada akhirnya memang kita berbeda jika tidak sepakat dengan apa yang penulis sampaikan. Tapi pembeda itulah yang membuat seorang Shalahuddin istimewa,

I am not those men, I am Salahuddin

Hargailah ajaran agama orang lain jika merasa paling Bhinneka dan toleran.

Catatan penting lainnya jangan sampai olok-olokan agama dibalas kembali dengan mengolok-olok agama lain. Sebab hal itu pun terlarang dan bisa menjerumuskan pelakunya pada dosa yang besar juga. Lebih baik kita sibukkan diri untuk memberitahu sekitar, mencerdaskan mereka bahwa diin Islam tidak bisa dijadikan sebagai bahan candaan. Asah kepekaan generasi muda untuk memuliakan dan mengagungkannya sebab Islam-lah yang nantinya akan menolong dan memuliakan kita di akhirat dengan rahmat Allah.

Sayangnya, meski penulis artikel vice di atas menuliskan pernyataan di akhir tulisannya bahwa ia bisa diajak diskusi melalui twitter, ia justru tidak membalas respon Saya terhadap tulisannya. Hm...

-------------------------------
Thought on Bad Jokes
Pena 1. Dari Canda Jatuh ke Hati
Pena 2. Komedi SARA, Bukti Pelawak Kita Tak Berjodoh Sama Kreativitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar