Masjid Jogokariyan

Satu tahun terakhir, topik yang rasanya cukup sering didiskusikan di lingkungan Saya salah satunya adalah mengenai tujuan hidup. Tujuan hidup ini ibarat kompas yang memberikan arah saat kita mengerjakan berbagai macam aktivitas dalam kehidupan. Pun meski terasa begitu penting, tidak jarang ada orang yang merasa kesulitan untuk menemukan alasan hidupnya, tujuan kenapa ia harus ada.

Rasanya terdapat begitu banyak cara yang dapat digunakan untuk mencari hal ini. Beberapa orang menyarankan kita untuk menentukannya melalui beberapa parameter. Misalnya, apa passion kamu, kamu jago apa, hal apa yang membuat dirimu merasa berguna dan bermanfaat bagi orang di sekitarmu,

Ada pula yang menyarankan kita untuk melakukan visualisasi seperti...

1. Bayangkan siapa yang akan hadir saat kamu mati?
2. Setelah mati, apa yang kamu ingin orang lain kenang dari dirimu?
3. Di usia 60 tahun nanti hendak dikenal sebagai apa?
4. Apa dorongan hati paling besar?

Dahulu, Saya pun melakukan hal itu untuk mempermudah Saya menemukan arah hidup. Tapi seiring berjalannya waktu, Saya merasa ada hal yang kurang dari cara-cara tadi, terutama setelah Saya banyak membaca-baca sejarah Nabi dan para sahabatnya. Dalam sirah, kita mengenal seorang sahabat yang lebih dikenal dengan nama Julaibib misalnya. Rupawan bukan bagian dari dirinya, berharta pun tidak, hadirnya tak dikenali, kepergiannya pun tidak dicari, bahkan dalam momen perang kesyahidannya tidak disadari. Meski begitu, mengetahui syahidnya sang pahlawan di medan perang, Rasulullah berkata, "Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia.” Ah, siapa yang tidak ingin mendengar kata-kata itu langsung diucapkan oleh Nabi kepada kita. Saya pun berkata dalam benak, "Untuk apa hidup istimewa jika tidak beroleh cinta dari Rasul dan Rabb-nya?"

Sehingga kesimpulan tujuan hidup yang paling dasar kembali pada Ayaaturrahmaan yang berbunyi,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Maka pada setiap cita dan tujuan yang kita miliki selama di dunia, pastikan ia bernilai ibadah hingga cita itu sampai di akhirat, adi mengabadi. Meski pagar utama yang membatasi adalah memastikan bahwa tujuan hidup kita bernilai ibadah, tapi pada kenyataannya beberapa orang pun masih kesulitan menemukan tujuannya.

Kemudian dalam perjalanan satu tahun terakhir ini Saya pun dipertemukan dengan beberapa judul buku yang membantu sintesa cara nya. Ada buku Passion to Performance-nya Rene Suhardono hingga buku berjudul Ikigai yang dianggit oleh Ken Mogi. Selidik-selidik akhirnya Saya mencoba memahami konsep Ikigai ini dari beberapa tulisan di Medium dan artikel lainnya hingga menemukan sebuah diagram yang menggambarkan posisi Ikigai.

Ikigai


Belakangan, diagram yang selama ini dikenal dan dibahas di berbagai macam tempat sebagai ikigai ini ternyata merupakan sebuah "bid'ah". Maksudnya? Sebab jika kita membaca atau mempelajari konsep ikigai yang benar, ikigai tidak berbicara tentang hal-hal seperti yang ada dalam diagram tersebut. Ikigai lebih sederhana: "Apa yang bisa membuatmu bangun di pagi hari, punya alasan untuk hidup di hari tersebut, itu bisa menjadi ikigai" ditambah dengan beragam pilar serta nilai khas ikigai seperti mensyukuri hal yang kecil, mengamati hal detil dsb. Adapun diagram yang selama ini dikenal sebenarnya merupakan diagram purpose of life yang digagas oleh Andres Zuzunaga.


Pun demikian, sedikit banyak, visualisasi ini membantu Saya melihat lebih jelas posisi tujuan hidup. Namun, rasanya ada yang perlu dihilangkan, ada pula yang perlu ditambahkan untuk membuatnya lebih sesuai.

Pertama, Menghilangkan What You Can be Paid For

Sebab rasanya Saya tidak pernah menemukan satu hadist atau ayat yang menerangkan kepada kita akan perlunya kita menjadikan hal duniawi sebagai tujuan hidup termasuk di sini adalah harta. Fokus dari seorang muslim dalam harta sekalipun adalah asas kemanfaatan dan kebaikan sebagaimana hadist,

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

Maksud umum dari syari’at secara global maupun terperinci adalah menjaga keberlangsungan maslahat.” (Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 148).

Kemanfaatan ini adalah bentuk dari "what the world needs" yang induknya merupakan rahmat

Maka mengetahui masalah yang dimiliki dunia kemudian mengambil peran untuk menyelesaikannya adalah bentuk rahmat seorang muslim yang merupakan duta dari Islam. Melihat sekeliling kemudian menemukannya. Apabila seseorang berharta maka ia menjadi hartawan yang mengangkat kemaslahatan, berilmu maka menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana jika selama di dunia seorang muslim mendapatkan pujian, pengakuan dari manusia? Bolehkah?

“Itu adalah kabar gembira bagi mukmin yang disegerakan,” (HR. Ahmad 21380 & Muslim 6891).

Kedua, Menambahkan Bingkai Ibadah

Mungkin sudah jelas maksud dari menambahkan bingkai ibadah ini. Ya, semua tujuan hidup perlu dipastikan bernilai ibadah, kecil maupun besar. Sebab ia bernilai ibadah maka kita perlu memastikan apa yang kita kerjakan itu diridhai dan dicintai oleh Allah. Melalui bingkai ini, nilai lain yang ada di dalamnya memiliki batasan yang jelas. Maka "what you love" akan juga berarti "and what Allah love", "what you are good at" akan juga berarti "and what Allah love", bentuk rahmat yang diberikan dalam "what the world needs" juga berarti "and what Allah love."

Sebuah penambahan sederhana dapat menjadi pembeda antara seorang muslim dengan selainnya. Beginilah fungsi dari worldview. Jadilah konsep tujuan hidup dalam Islam sebagaimana berikut:

Ibadah, Islamic Concept of Reason of Being

Ketiga, Menerapkan Istilah Baru yang Lebih Tepat

Ada beberapa istilah yang sengaja diambil dari konsep Islam di dalamnya. Seperti syaakilah yang merupakan fitrah kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh seseorang, juga itqan yang sering kita persepsikan sama dengan profesional. Padahal itqan jika merujuk pada Mu'jam Al-Ghani dalam bahasa arab berarti dua hal: profesional dan bijaksana.

“Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba yang berkarya dengan ‘itqan. Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR Ath Thabrani dan Al Baihaqi)

Ketika semua titik bertemu: Ibadah, Syaakilah, Rahmah, dilaksanakan sepenuh cinta maka pada saat itulah seseorang menjadi seorang muslim yang progresif. Tidak hanya menjadi kebaikan bagi diri sendiri tapi juga bagi sekeliling.

Sejujurnya Saya merasa masih banyak sisi lemah dari konsep ini walau arahnya sudah mulai terlihat. Terutama bagian what you love. Sebab dalam Islam tidak ada anjuran untuk mengikuti apa yang dicintai. Meski begitu dalam kasus ini sudah terbentengi dengan apa yang Allah cintai juga. Memang begitu bukan? Muara dari setiap gerak kita adalah ridha-Nya.

Thought? Diskusi yuk. Ingin bisa membuat sintesa konsep tujuan hidup dalam Islam.

Gagasan ini sudah mendapatkan revisi dari Asa. Dimana saya bisa baca revisinya? Cek link berikutnya di sini:

2 komentar:

  1. I like this blog,let's discuse ikigai
    .
    Ajaran islam is perfect,almaidah ayat 3.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mari pak, Saya bisa banget dihubungi via medsos manapun yang iconnya ada di sebelah kiri :)

      Hapus