Saat ini, jamak kita temukan berbagai usaha yang dilakukan oleh umat Islam untuk menumbuhkan semangat kebangkitan dengan cara mendakwahkan kejayaan Islam di masa lalu. Akan tetapi, usaha ini menjadi sebuah ironi dikala apa yang umat dakwahkan justru berperan menjadi sekadar pelipur lara dari ketertinggalan umat Islam saat ini atau ketika sang da'i justru tidak memahami seperti apa esensi peradaban emas itu sendiri. Sehingga hasilnya seorang pendakwah hanya menceritakan tentang kejayaan masa lalu tapi tidak membahas dengan baik bagaimana kejayaan itu dibentuk oleh generasi yang mengambil peran saat itu. Lalu bagaimana seharusnya kita memahami sebuah peradaban yang disebut sebagai peradaban emas?

Dark age of Europe pada abad 6-14 masehi selama ini banyak diceritakan oleh Barat dalam berbagai buku sejarah. Masa kegelapan itu disebut sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah umat manusia sebab peradaban keilmuan mati dan manusia hidup dalam sebuah prinsip hidup yang feudal dan primitif. Kepercayaan dengan tahayul, ramalan bintang dan hal-hal lain yang bersifat irasional tumbuh subur di Eropa. Masa kegelapan itu semakin lengkap disempurnakan dengan kemunduran kerajaan Romawi yang dahulu menjadi salah satu kiblat peradaban dunia. Sementara itu di daerah Selatan, bermula dari sebuah gurun tandus yang amat terabaikan tengah lahir umat dengan geliat peradaban yang menjadi pondasi keilmuan di dunia. Berjalan paralel dengan masa kegelapan Eropa, bercahaya sebuah masa yang lebih dikenal dengan istilah abad keemasan Islam, golden age of Islam. Islam hadir dengan peran besarnya meninggikan derajat ilmu dan mengangkat peradaban ilmiah.

George Saliba dalam bukunyaA History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam menyebutkan bahwa zaman keemasan sains Islam seharusnya dipindahkan dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi menjadi abad ke-13 dan ke-14. Pada abad 9 dan 10 Masehi perkembangan ilmu pengetahuan banyak memberikan manfaat berdasarkan warisan saintifik dari bangsa Yunani. Sementara pada periode 13 dan 14 Masehi sains Islam hadir dalam ciri khasnya sebagai warisan saintifik Islam. Pada masa inilah tumbuh subur tokoh-tokoh seperti al-Jazari (m. 1205) dalam bidang teknik, Ibn al-Shatir (m. 1375) dalam bidang astronomi, Nasir al-Din al-Tusi (m. 1274) dalam bidang astronomi dan matematika, Kamal al-Din al-Farisi (m. 1320) dalam bidang optik, Ibn al-Baytar (m. 1248) dalam bidang farmakologi, dan Ibn al-Nafis (m. 1288) dalam bidang kedokteran.

Berbeda dengan George Saliba yang menyebutkan bahwa abad keemasan Islam berada pada abad ke-13 dan 14, Prof. Naquib al-Attas memberikan sudut pandang yang lain. Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya, “Islam and Secularism” mengatakan, “Konsep-konsep seperti perkembangan, kemajuan dan kesempurnaan ketika diterapkan kepada kehidupansejarah dan nasib manusia tentu harus merujuk. (Sesuatu yang dijadikan rujukan -pen) di dalam Islam akhirnya (kembali –pen) kepada sifat sejati dan ruhani manusia.” Sebab jika tidak, maka kemajuan peradaban tadi tidak lebih dari... 

“pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewaniah pada manusia.” 

Oleh karenanya, berdasarkan sudut pandang beliau, zaman keemasan Islam justru telah hadir lebih lama dari abad ke 13 atau 14 Masehi. Zaman keemasan itu terjadi pada masa Nabi Muhammad.

Amat berbeda sudut pandang dengan banyak pendapat pakar Barat, pakar muslim melihat tingginya sebuah peradaban dengan titik penekanan pada hal-hal yang bersifat abstrak, tidak dapat dengan mudah terindera namun dapat dimaknai perannya. Karya Ibnu Khaldun (m. 1406) dan Jalaludin al-Suyuti (m. 1505) memahami komponen ruhani dan akhlak di dalam kepemimpinan dan pemerintahan menjadi kunci utamanya. Lebih jauh Ibnu Khaldun memberikan gagasan bahwa bangkit dan runtuhnya peradaban memiliki hubungan yang amat erat pada kualitas ruhani dan akhlak para pemimpin kunci di masa tersebut. Secara lebih spesifik Ibn Khaldun dalam buku “Muqaddimah” menjadikan Al Qur’an dan hadist nabi sebagai acuan lalu mengingatkan bahwa sains yang sekuler dan kesejahteraan materi dari sebuah peradaban yang mapan dapat melemahkan kekuatan ruhani, akhlak, dan solidaritas kelompok.

Dr. Majid Irsan Al-Kilani (1985 M) membahas bagaimana proses kebangkitan umat yang terjadi pada generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Dr. Majid membagi komponen dalam sebuah masyarakat menjadi tiga: benda, pemikiran dan individu manusia. Dalam karyanya yang berjudul “Hakadza Zhahara Jiilu Shalahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds” beliau menjelaskan bahwa kebangkitan umat diawali dari kesadaran pemikiran yang diinisiasi oleh para ulama dengan tokoh ternamanya yakni Imam Al Ghazali. Hal tersebut dapat terlihat dari semakin hidupnya keilmuan Islam dan munculnya kesadaran umat. Poin-poin pentingnya tertuang dalam karya Imam Al Ghazali yang berjulu “Ihya ‘Ulumuddin”. Pondasi kebangkitan ini terus tertanam dengan baik dan didukung dengan didirikannya berbagai institusi pendidikan serta madrasah di berbagai wilayah Islam. Fokus gerak mulai dibentuk dan perselisihan yang tidak perlu soal madzhab mulai ditinggalkan sehingga muslimin dapat bersatu dan bersikap progresif. Akhirnya melalui Shalahuddin sebagai pemimpin, sebuah generasi islah hadir untuk mengangkat kembali kemuliaan masjid al-Aqsha.

Sebagai seorang muslim kita harus melihat kriteria dan parameter tingginya tingkat peradaban suatu bangsa bukan hanya dari apa yang dapat dijumpai secara lahir sajaLebih jauh dari itu terdapat aspek yang tidak tampak yang perlu kita sama-sama maknai. 

Maka bukan menjadi parameter tingginya sebuah peradaban dengan menjadikan candi, patung, peninggalan arsitektur lainnya atau seni sebagai ukuran kejayaan. Yunani disebut maju kala hidup di tengah zaman tersebut Plato, Aristotle dan tokoh-tokoh lainnya. Yunani tidak dikatakan maju meski kesenian sudah hidup dengan baik sebelum hadirnya tokoh-tokoh tersebut. Sama halnya dengan Piramida di Mesir yang justru menunjukkan kualitas peradaban yang rendah meski menghasilkan sebuah bangunan yang menjadi salah satu bagian dari keajaiban dunia. Sebab pada masa pembangunannya terdapat banyak rakyat yang menjadi korban pembangunan paksa Fir'aun.

Prof. Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “The Dewesternization of Knowledge” mengatakan bahwa membangun peradaban Islam harus dilakukan melalui proses ta’dib (pendidikan). Hal ini sejalan pula dengan analisa yang dilakukan oleh Dr. Majid Irsan Al-Kilani yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai adab. Kemudian adab akan melahirkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan meluruskan pandangan diri kepada Nya dengan cara melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Saat adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut tamadun akan terbentuk. 

Tamadun yang benar memiliki asas berupa ad-diin. Tempat dimana ad-diin diaplikasikan kemudian dikenal dengan nama Madinah.

---------------------------------
Thoughts on Civilization
Pena 2. Islam dan Mongol: Mengapa Ekspansinya Berbeda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar