Masjid Baitussalam
Malam itu menjadi salah satu malam
yang paling Ia ingat dalam hidupnya. Di sebuah masjid yang telah mencetak
ribuan da’i fii sabilillah (InsyaaAllah), seorang santri yang mulai menginjak
usia 18 tahun tengah mengikuti salah satu kegiatan yang diwajibkan oleh
pengurus pondok pesantren. Salah seorang sahabatnya dari pondok pesantren berbeda bertanya tentang apa yang
Ia lakukan saat itu:
“Zid, itu teh ngapain kegiatannya? Itu yang semacam bersemedi gitu ya?”
“Oh... bisa dibilang seperti itu.”
Hm... heran sekali Saya saat itu
karena ternyata salah satu ibadah favorit dari para sahabat Rasul ini masih belum diketahui santri pondok pesantren lain.
Selepas Shalat Isya, seorang ustadz
akan hadir di tengah tiap kelompok untuk mengecek keberjalanan kegiatan atau
sekadar sharing, diskusi dan diisi obrolan ringan. Saat itu Ust Muzayyin selaku
pembimbing dari kelompok pemuda tadi datang dan bercerita panjang lebar tentang kisah
para ‘ulama dan generasi salafussalih:
“Dahulu...” Ucapnya dengan berwibawa
disertai senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya, “... muslimin laksana
cahaya yang menerangi dunia dikala negeri Barat masih diliputi dengan kegelapan
dan kebodohan, peradaban manusia berubah berkat kehadiran sosok-sosok luar
biasa dari umat Islam. Kita semua mengenal nama-nama mereka, ada Ibnu Sina,
Ibn Rusyd, Al Khawarizmi, Imam Bukhari, Imam Muslim dan masih banyak ilmuwan, ulama
dan pelajar muslim yang hidup pada masa kejayaan Islam itu. Kalian tau apa kesamaan
yang mereka miliki? Ya, mereka hidup di dunia dan menghabiskan usianya untuk bermujahadah
dalam menuntut ilmu. Tidak berhenti sampai disitu mereka juga mengajarkan dan
mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Apakah sudah selesai? Belum. Mereka juga
meninggalkan karya-karya mereka yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan
manfaatnya.”
Seperti itulah kurang lebih tausyah
singkat yang beliau sampaikan kepada 9 orang anggota kelompok tersebut. Karena
Ia masih malu-malu dan belum tau harus bertanya apa, Ia hanya mendengarkan
dengan dan berpikir dalam diamnya...
Ustadz Muzayyin melanjutkan
tausyahnya, “Santri-santriku, sebagai seorang muslim kalian harus mampu
menghasilkan karya. Bukan agar nama kalian dapat dikenang dalam sejarah, akan
tetapi agar kalian mampu memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya untuk umat.
Tidak hanya untuk generasi sekarang, tapi juga untuk generasi-generasi
berikutnya. Jadi muslim harus berkarya!”
Masih degan gaya menyampaikannya yang
khas, beliau kembali berkata, “Jangan kalian kira hal sederhana seperti itu
tidak akan diperhitungkan, kalian pasti tau amalan-amalan jariyah. Salah
satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Jika kalian mampu menciptakan karya, insyaaAllah kalian akan mendapatkan amal jariyah setelah kalian syahid
kelak.”
Di akhir pertemuan itu beliau menutup
halaqah dengan wejangan singkat, “Saat ini ustadz juga ingin bisa menulis, akan
tetapi kesibukan sudah membuat ustadz cukup kesulitan. Jadi ustadz sekarang
hanya menulis pelajaran-pelajaran untuk kalian dan makalah-makalah dulu. Yang
ustadz inginkan saat ini adalah bisa menghafalkan Al Quran seperti akhinaa
Humamuddin. Malu sekali ustadz jika kelak di akhirat ditanya,
“Kenapa kamu rajin sekali menghafalkan
perkataan Naas (manusia) sementara perkataan Rabb An-Naas tidak kamu hafalkan?”
Diadaptasi dari kejadian nyata dengan beberapa perubahan seingatnya
Diadaptasi dari kejadian nyata dengan beberapa perubahan seingatnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar