"Bagaimana pendapat teman-teman mengenai data ini?" Tanya seseorang dalam sebuah grup diskusi kehidupan.

Perhatianku teralihkan pada sebuah slide menarik dengan judul "Dinamika Pilpres 2019". Disusun oleh Indobarometer berisi prediksi tiga skenario pilpres pada tahun kontestasi politik akbar di Indonesia yang akan dilangsungkan tahun depan. Bagaimana isi riset tersebut? Dalam pandangan Saya sebagai seorang awam politik, sucks! Bagaimana bisa seperti itu?

Silakan unduh terlebih dahulu filenya di sini

Bagi seorang Asa yang selama ini berkecimpung di dunia sains, melihat siapa saja nama-nama tokoh yang disajikan dalam survey Indobarometer sudah membuat ia menyernyitkan dahi. Sebelum membaca slide tersebut ia sudah lebih dulu memperkirakan kemunculan nama-nama seperti Ibu Tri Rismaharini (walikota Surabaya), Ahmad Heryawan (gubernur Jawa Barat) dan TGB (Gubernur NTB). Namun, nama mereka tidak muncul walau sekalipun di dalam hasil riset. Saya justru menilai nama-nama yang muncul merupakan nama-nama yang banyak dibahas di media nasional. Hm...

Selain itu cara menjawab responden saat menilai performa kepemimpinan setiap orang juga membuat Asa semakin bingung. Dalam riset tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada responden:
- Siapa yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, sembako terjangkau, kesenjangan masyarakat, korupsi, narkoba, terorisme
- Siapa uang mampu memberikan hunian terjangkau, kesehatan terjangkau, pendidikan terjangkau, listrik terjangkau
- Dan sebagainya
Sementara itu, sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, kapabilitas kepemimpinan ini tidak dibandingkan antar sesama pemimpin daerah yang amat berpengaruh dalam memberikan kebijakan-kebijakan di atas. Lalu bagaimana cara responden menilai nama-nama itu jika sosok yang dibandingkannya saja tidak apple to apple? Apakah dengan perasaan? Lucu juga jika memang dinilai dengan menggunakan asumsi dan perasaan

Hal menarik lainnya didapatkan saat melihat bagaimana responden menentukan karakter yang cocok untuk menjadi wakil dari bapak Jokowi dan bapak Prabowo. 38% responden mengaku tidak tahu bagaimana karakter wakil yang cocok disandingkan dengan bapak Jokowi. Amat berbeda dengan bapak Prabowo, responden nampak lebih mudah menentukan pilihannya. Penulis melihat fenomena ini sebagai fenomena "Bapak Jokowi saja cukup memimpin Indonesia" sebab responden nampak kesulitan mencari komplemen dari karakter bapak Jokowi. Karakter wakil yang nampak dibutuhkan sebagai wakil beliau adalah karakter "tegas" sebab ia menjadi komplemen dari karakter bapak Jokowi yang ditampilkan sebagai sosok yang ramah dan baik hati.

Berbeda saat responden menentukan bagaimana karakter wakil presiden yang cocok bagi pak Prabowo. Mungkin stereotype militer yang melekat pada diri beliau membuat masyarakat lebih mudah menentukan karakter yang dapat menjadi komplemen dari sifat beliau.

Positioning yang diambil oleh bapak Jokowi sejak awal memang amat strategis. Beliau ditampilkan sebagai seorang sosok yang rendah hati, moderat, merakyat dan sederhana. Ah rasanya (mungkin) Indonesia banget. Akan sulit bagi kompetitor beliau untuk menandingi branding yang sudah dibangun oleh pak Jokowi dan tim sejak lama. Meski begitu, kebijakan beliau akhir-akhir ini membuat tidak sedikit loyalis maupun simpatisan beliau berpikir cukup dalam.

Momen 212 dan 411 menjadi salah satu puncak penentuan masyarakat dalam menilai bagaimana beliau mengambil sikap di tengah kondisi umat yang memanas akibat perilaku tidak terpuji seorang gubernur. Masyarakat semakin diajak berpikir kala UU Penghinaan Presiden diangkat, kebijakan impor beras dilakukan di saat panen petani tengah melimpah, dan sebagainya. Akhirnya mereka beralih dari simpatisan dan loyalis menuju posisi ceruk tengah di antara masyarakat pro jokowi dan kontra dengan jokowi.

Aspirasi politik dari masyarakat yang kontra dengan jokowi banyak dirangkul oleh koalisi merah putih Gerindra-PAN-PKS, sementara ceruk tengah dan swing voter membutuhkan keteguhan hati dalam memilih pemimpin dalam pemilu mendatang. Pemenang dalam kompetisi 2019 nanti adalah mereka yang mampu merangkul aspirasi ceruk tengah ini dengan baik. Siapakah ia?

"Jangan terlalu polos lah. Settingan itu. Tidak ada yang kebetulan dalam politik," Ujar sahabat baik Asa. Politik itu memang menarik ya walau belum ada minat untuk terjun lebih dalam ke dunia politik praktis.

Politik praktis itu tempat bunuh diri bagi seseorang dengan idealisme yang tinggi katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar