Pada dasarnya pendidikan keimanan melahirkan sikap keridhoan,

Radhitu billah rabba wabil islami dina wa bimuhammad nabiyya wa rasuula

"Aku ridha Allah sebagai rabb, dan Islam sebagai diin, dan nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul"

Itu sebabnya kata kunci dari pendidikan iman adalah mahabbah: mendidik rasa cinta kepada Rabb-nya. Rasa cinta itulah yang mampu membangun daya juang dan kekuatan. Perasaan takut akan kalah dengan cinta dan kasih sayang. Rasa takut juga akan dengan mudah dikalahkan dengan kecintaan pada harta, dunia, hingga lawan jenis. Itu sebabnya cinta hanya bisa dikalahkan dengan cinta yang lebih besar. Pertanyaannya, selama ini dengan apa kita mendidik anak? Rasa cinta atau rasa takut kepada Rabb-nya?

Mendidik mahabbatullah adalah mendidik anak dengan dua sifat Allah yang selalu kita baca setiap saat dalam basmalah: Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Bahkan pada hal yang mengundang murka Allah tetap saja ada kesepatan untuk mendapatkan cinta-Nya yang jauh lebih besar. Terekam indah bukti sifat rahman dan rahim Allah pada hadist qudsi yang sudah sering kita dengar,

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Lantas kapan kita mengajarkan kepada anak rasa takut jika kita mengajarkan mereka dengan cinta saja? Jika seseorang sudah mencintai sesuatu, secara tidak langsung ia akan juga menjadi seorang yang takut akan sesuatu. Ya, pecinta sejati adalah seseorang yang amat penakut. Ia takut yang dicintainya cemburu, takut ditinggalkan, takut yang dicintainya tidak lagi mencintainya. Ah, merasa familiar dengan rasa itu? 

Istilah mukallaf dimana ia merupakan masa dimana seseorang sudah mulai aktif dicatat amal perbuatan baik buruknya di dunia berasal dari kata taklif yang maknanya adalah beban. Sebagai sebuah beban maka fitrah dari seseorang yang terbebani adalah perasaan tidak suka. Shalat, shaum, mengaji, menutup aurat adalah bagian dari taklif syar’i. Saat kita mengenalkannya kepada anak dengan rasa cinta maka beban itu akan hilang saat kita cinta dengan Allah. 

Lalu bagaimana caranya mendidik anak agar mencintai Allah?

Memulai pendidikan dengan kalimat basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah, segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam. Pada apa yang hendak dimulai untuk kebaikan mari kita mengingat Rabb yang memiliki sifat Rahman dan Rahim, juga Ia yang mampu membolak-balikkan hati, Ia yang mampu menberikan rasa cinta pada hati manusia.

Banyaklah ajarkan syukur. Dalam surat luqman kita mendapatkan setidaknya dua kali kata syukur. Sebelum mengajarkan tentang aqidah, kita diminta untuk dapat mengajarkan syukur terlebih dahulu. Salah satu modal dari mendidik anak adalah syukur. Syukur yang bukan bermakna hanya mengucap hamdalah akan tetapi mendayagunakan apa yang dimiliki untuk berkarya fii sabilillah. Dengan demikian kita mengajak anak untuk merubah cinta yang tumbuh dari syukur menjadi kata kerja.

Terutama untuk mensyukuri hal-hal kecil dan apa yang dimiliki saat ini. Tujuannya agar anak kelak tidak mudah tersilaukan dengan hal yang belum ia miliki dan hal yang orang lain miliki terlebih jika hal itu hanya menyangkut perkara duniawi saja.

Berikan kabar gembira jangan rasa ketakutan. Dalam bahasa Arab, salah satu kata yang mendefinisikan manusia adalah basyar. Disebut demikian karena fitrahnya seorang manusia lebih senang dengan yang bersifat menggembirakan. Itu sebabnya daripada berkata bahwa jika tidak shalat maka masuk neraka lebih baik apabila berkata kalau shalat maka masuk surga.

Pahamkan kepada anak bahwa diin ini penuh peluang kebaikan sebab pada dasarnya sebagaimana sebuah hukum ushul fiqih: Segalanya boleh kecuali yang dilarang. Sayangnya, kesan yang  sering terbangun di tengah kita adalah Islam itu penuh dengan larangan. Lalu kenapa kitab fiqih isinya seputar halal dan haram? Sebab apa-apa yang halal jauh lebih banyak daripada yang haram. Menyadari hal ini?

Ajarkan mereka agar tidak berputus asa dari rahmat Allah. Jangan pernah sembunyikan hadist akan besarnya rahmat Allah kepada seorang anak. 

Menemukan bagaimana cara lainnya untuk membangun mahabbatullah? Leave your thought in the comments!

--------------------------------
Majelis Luqmanul Hakim
Pena 1. Dicari, Lelaki Luqmanul Hakim
Pena 2. Luqmanul Hakim dan Peran Ayah dalam Pendidikan Anak
Pena 3 Ayah, Arsitek Visi Keluarga
   - Merancang Visi Keluarga
Pena 4. Pendidikan Iman
   - Metode Pendidikan Iman kepada Anak
   - Membangun Mahabbatullah
Pena 5. Sang Raja Tega
Pena 6. Konsultan Bunda
Pena 7. Pendidik Kemandirian
Pena 8. Penanggungjawab Pendidikan
Pena 9. Pendidik Sistem Berpikir
Pena 10. Pendidik Kewirausahaan
Pena 11. Smart Mencari Nafkah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar