Ust Salim A Fillah
Jumat 15 November 2019
@Masjid Al Ihsan Darul Hikam 

Anak anak kita berbeda dengan kita dahulu. Kalau orang tua beli HP yang dilakukan buka buku manualnya dulu untuk bisa memahami cara menggunakan HP. Anak anak kita tidak perlu baca manual sudah bisa menggunakan gawai bahkan lebih mahir dari kita. Mereka disebut digital native. Kalau kita berasal dari dunia analog. Kita masih paham hubungan antara pensil dan kaset. Sampai ada guyonan di Amerika yang cukup viral seorang ayah memberikan disket kepada anaknya dengan kapasitas hanya 144 kb. Kata anaknya, “Wah Ayah keren bisa bikin print 3D dari icon save!”

Dunia berubah dan anak anak menghadapi hal yang berbeda. Sekarang begitu banyak disrupsi. Dahulu kalau pendidikan seseorang bagus bisa jadi karirnya juga akan bagus, sekarang belum tentu. Pekerjaan yang dulu akrab di tengah kita sekarang sudah banyak yang tidak ada. Dulu ada iklan seorang penjaga pintu tol sekarang sudah tidak ada profesi itu. Kedepan akan semakin banyak pekerjaan yang punah. Kepala sekolah di Jogja sekarang gelarnya sudah pada doktor.

Pada tahun 80an 90an menjadi dokter itu seolah sudah mendapatkan jaminan kesejahteraan. Itu sebabnya menjadi dokter menjadi cita-cita banyak orang. Sekarang sudah kuliah, menyelesaikan koas dan lain sebagainya jadinya nanti menangani pasien BPJS. Harus belajar lagi spesialis untuk bisa naik level menangani pasien lainnya. Kalau jaman dulu kita ngikut apa kata dokter, akan tetapi jaman sekarang kita bisa mendebat dokter ketika mendapatkan hal yang berbeda dengan apa yang kita baca di google.

Sekarang udah ada alat kedokteran canggih. Masuk tabung lalu kita discan. Muncul di layar diagnosa seseorang setelah discan. Tekan tombol kedua langsung keluar resep yang diperlukan untuk pengobatannya. Disrupsi lainnya pada aktivitas operasi contohnya. Kalau dokter bisa menua, sementara robot tidak menua dan tangannya tidak akan gemetaran.

Sekarang beli buku seolah menjadi ikatan batin antara penulis dengan pembaca. Kita tidak ke toko buku untuk mencari sesuatu karena di internet sudah banyak. Toko buku terbesar saat ini tidak punya toko buku fisik namanya Amazon, hotel terbesar jaringannya tidak memiliki gedung hotel namanya Air BnB.

Apel kalau belum tergigit harganya mungkin cuma 30rb per kilogram, udah digigit harganya jadi belasan juta. Karena perubahan itu lah kita tak bisa membekali anak dengan hal yang mudah hilang, mudah dicopy ditiru dsb. Kata kuncinya ada di An Nisa ayat 9,

“Hendaknya takut mereka yang meninggalkan anak cucu yang lemah yang selalu mereka khawatirkan keadaannya. Hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan mengatakan ucaapan yang lurus (Qaualan syadiidaa).”

Ayat ini ditaruh Allah dalam ayat-ayat yang membahas soal waris. Sehingga ada yang keliru mengira kalau anak cucu harus ditinggalkan warisan yang banyak agar kita tidak khawatir. Padahal hal ini Allah letakkan dalam pembahasan warisan karena Allah justru hendak meluruskan bahwa warisan sebanyak apapun tidak akan pernah cukup menghadapi kehidupan.

Maka ayat ini seolah mengatakan,
“Kamu akan terus khawatir dan gelisah kalau kamu hanya mewariskan harta.” 

Dua Kisah Putra Khalifah

Ada khalifah Al Walid ibn Abdul Malik. Ketika meninggal masing-masing anaknya diberikan warisan banyak dan tak terhitung. Anak anaknya dapat uang cash berupa emas total 40jt dinar (4,25gr x 700rb = 2,5 jt x 40jt dinar = 100 trilyun). Kurang banyak apa?

Hal yang berbeda kita dapati dari kisah Umar ibn Abdul Aziz. Sebelum meninggal harta warisannya dihitung oleh adik iparnya Maslamah ibn Abdul Malik. Satu orang anak kemudian mendapatkan 8 dirham (4,3,5gr x = 70rb x 8 = 560rb). ”Wahai amirul mukminin jangan tega ke anak ntar biar saya yang jamin kehidupan mereka. Hartaku itu terbanyak se Bani Umayyah biar saya urus mereka,” ujar Maslamah. Umar tersenyum dan berkata, “Sudahlah tenang saja sudah saya titipkan kepada yang lebih kaya daripada kamu, Ialah Allah. Lebih baik kamu khawatirkan dirimu sendiri saja. Harta sebanyak itu hendak dihisab seperti apa?” Jleb.

Beberapa waktu sepeninggal para khalifah, anak-anaknya Al Walid berubah menjadi gelandangan semenjak dinasti Umayyah diambil alih oleh Abbasiyah. Sementara itu anak Umar menjadi pembayar zakat terbesar pada zamannya. Ujar seorang ulama kalau kekayaan kita masih bisa dihitung dengan angka, maka itu adalah hal yang masih kecil. Yang kaya adalah yang memiliki apa yang tidak dapat dihitung dengan angka.

Kunci Pendidikan Anak (QS An Nisaa)

Bertaqwalah kepada Allah
Taqwa itu fokus ke diri sendiri terlebih dahulu terutama kita sebagai orang tua. Jadi orang tua fokus dulu ke diri sendiri karena anak shalih lahir dari doa orang tua yang shalih dan shalihah, yang mesra dekat dengan Allah. Maka keliru kalau kita mau anak jadi kaya Imam Asy Syafii tapi kita tidak seperti orang tua Imam Syafii.

Taqwa artinya kehatihatian. Umar bertanya pada Ubay ibn Ka’ab tentang taqwa maka ia menjawab, “Apa yang akan engkau lakukan jika berjalan di suatu tempat yang remang lalu dipenuhi duri dan jebakan?” Maka Umar menjawab, “Aku akan berhati hati.” “Itulah taqwa,” ujar Ubay ibn Ka’ab.

Selama di dunia, kita perlu istiqamah dan bermujahadah untuk sabar dan berhati-hati dalam ketaatan dan mencegah diri dari maksiat.

Dalam perkara mengajarkan ketaqwaan, Rasul sangat lembut dalam memperkenalkan ibadah akan tetapi amat tegas sikap beliau terhadap halal dan haram. Umar ibn Al Ash saat kecil kalau diajak shalat sambil digendong dsb sehingga kita mengetahui banyak syariat membawa anak dalam shalat. Dalam kesempatan lain Rasulullah memperlama sujud saat Husain ibn Ali ibn Abi Thalib kecil naik ke atas nabi.

Sementara itu dalam kesempatan berbeda, Hasan ibn Ali yang baru berusia 9 bulan merangkak dan mengambil sebutir kurma lalu memakannya ke mulut. Secara sigap kemudian Hasan digendong oleh Nabi dan dibantu untuk mengeluarkan apa yang sudah masuk. ”Nak tidak taukah kamu keluarga kita dilarang memakan zakat dan bisa jadi ini bagian dari kurma zakat!” ujar nabi dengan nada tegas.

Sekarang apa yang kita lakukan ketika kita shalat lalu anak mengganggu apa yang kita lakukan? Marahin, cubit dsb. Rasul menanamkan kesan baik kepada anak soal ibadah. Di kemudian hari Husain dikenal sebagai As-Sajjaad yang dahulu pernah mengganggu Rasul saat sujud tapi terkesan dengan sikap Rasul.

Anak adalah peniru yang sempurna dan baik. Tapi dia kesulitan mengetahui mana baik dan buruk itu sebabnya “apa yang ortu lakukan selalu baik dan dilakukan.” Ukuran mereka adalah kita. Kita jadi standar nilai anak untuk menentukan mana baik dan buruk.

Ada kisah orang tua mengadu kepada kyai di sebuah pondok. Mereka mengadu karena mereka memiliki 3 orang anak: 2 anak sholeh, 1 anak bandel. Maka kyai berkata, “Doakan anak terus menerus karena itu adalah ikatan antara Allah, orang tua dan anak. Ga ada doa yang mubadzir. Ada orang tua yang lebih sholeh dari kita namanya Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim punya anak 12 orang yang nakal 10 yang sholeh justru hilang.“

Sang ortu berkomentar, ”Kayanya kita salah curhat, Kyai ini ngasih contohnya ekstrim.“ Sang kyai menjawab, “Pertanyaannya happy ending ga? Happy ending. Satu anak yang shalih bisa menutupi 10 saudaranya yang bandel bahkan mereka di kemudian hari menjadi shalih. Doa nabi Ya’qub itu, “Aku hanya mengadukan kesulitanku kepada Allah.” Inilah taqwa.

Ada seorang ulama yang berkomentar, “Nabi Ya’qub itu lucu, kita tidak pernah mendengar beliau berdakwah sebagaimana nabi nabi lain yang berjuang melawan kaumnya tapi kok beliau bisa jadi nabi.” Ya itu karena amal beliau yang utama itu.

Bertutur Kata yang Lurus
Misal kita membohongi anak dengan cara menyuapi obat pake bilang sari buah.
Misal anak lari lari kita bilang, “Jangan lari lari nanti jatuh” Itu sebabnya anak Indonesia ga ada yang jadi atlet sepak bola internasional. Atau ketika dia jatuh kita bilang,

    Ibu pertama, “Tuh kaan.”
    Hal ini bisa membuat anak tidak siap menghadapi risiko.
    Ibu kedua, “Ih batu nakal, udah ibu marahin.”
    Jika seperti ini anak jadi gemar bikin excuse dan menyalahkan hal lain.
    Ibu ketiga, “Cuma kaya gitu ga sakit nak. Ga usah nangis.”
    Nanti anak ga peka kalau liat penderitaan orang. ”Ah Cuma kaya gitu ga sakit.” ujar kita 

Yang bener bagaimana? Anak jatuh nangis tidak perlu banyak dikomentarin. Senyumin aja. Kita tanya, “Sakit ga?” ”Dikit.” Kalau dikit dan tidak masalah maka aman. Jika masih menangis lalu nangisnya reda coba kasih tau, 

    “Hebat kamu nak, sakit?”
    “Ya.”
    ”Nah itu namanya risiko. Larinya cepet kan tadi? Bagus. Lain kali larinya semakin cepet tapi semakin hati-hati, ya.”

Banyak momen kita ini niatnya baik tapi salah cara menyampaikan. Misalnya, “Anak sholeh masuk surga tapi anak nakal masuk neraka.” Padahal semua anak masuk surga karena belum dicatat amalnya.

Dalam kasus lain kita berkata “Allah gak suka nak kalau kamu berisik mukul-mukulin piring.” Menggunakan nama Allah untuk melegalkan nasihat. Padahal tidak ada dalilnya Allah membenci perilaku anak seperti itu. Ada anak bawa piring ke wastafel lalu pecah. Kita lebih tertarik untuk mengomentari mecahin piringnya padahal ikhtiarnya ketika membawa piring ke wastafel adalah hal yang baik. Jatuh itu kecelakaan saja.

Materinya masih ada 8 ayat lagi dari surat Luqman. Basic nilai berikutnya:

1. Syukur anisykur lillah
Orang tua perlu banyak mensyukuri nikmat Allah kepadanya dan menampakkan rasa syukurnya kepada anak. Jika ada anugerah yang sifatnya ”taken for granted” maka memujinya, “Maasyaa Allah anak ganteng.” Semua pujian dikembalikan kepada Allah. Yang kita puji adalah effortnya untuk terlihat ganteng, untuk rajib dsb. Ketika memuji effortnya kita bisa berkata misal, “Nak, makannya pinter ibu suka. Itu gizi buat kamu.” Jangan kemudian kembali melegalkan kebaikan dengan berkata Allah suka dsb padahal tidak ada keterangannya bahwa Allah menyukai hal itu.

Jika ketiga poin di atas dapat dilakukan dengan baik maka kurikulum pendidikan lainnya dalam surat Luqman ini akan lancar:

2. Laa tusyrik, jangan syirik kepada Allah karena syirik adalah kedzaliman yang amat besar. Dzalim karena kita tidak menempatkan Dzat yang layak disembah sesuai oada tempatnya dan justru mengangkat sesembahan lain yang tidak layak sebagai tandingan Allah.

3. Muraaqabatullah, Allah selalu mengawasi. Tidak ada yang lepas dari pengawasan Allah sebagaimana dalam surat Luqman.

4. Ibadah


5. Akhlaq. Akhlaq mana yang perlu diajarkan? Ulama berkata: Jujur dan tawadhu ini akhlaq asasi. Setiap orang perlu memiliki dua akhlaq ini dan ketika sudah punya maka akan selamat dari berbagai keburukan akhlaq lainnya.

6. Adab. Ini soal etika dan etiket. Etika itu tentang apa yang baik dan buruk. Tapi etiket itu kontekstual: Apa yang sopan di Indonesia belum tentu sopan di tempat lain. Itu sebabnya kita perlu mengenalkan kepada anak untuk bisa toleran dan lebih memahami orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar