Salman ITB Radikal Pelayanan dan Melting Pot


Kita akan membicarakan masjid yang disebut radikal ini oleh sebagian orang. Mungkin memang karena mendapati adanya orang-orang berpikiran radikal di sana, atau pernah sakit hati dengan masjid Salman, atau bisa jadi ada rasa iri takut tersaingi. Ya, who knows? Siapa yang bisa tau dengan pasti motif seseorang ketika berkata demikian bukan? Kita berprasangka baik saja, sebab bisa jadi hal itu terjadi dikarenakan perhatiannya yang mendalam terhadap keberlanjutan dakwah masjid Salman ITB.

Sebagai gambaran kenapa tulisan ini perlu menjadi pertimbangan pembaca untuk mencari tau seberapa radikal masjid Salman ITB, penulis merupakan seorang mahasiswa alumni ITB yang sudah beraktivitas di Salman setidaknya 8 tahun lamanya hingga tulisan ini dibuat. Penulis pernah menjadi ketua salah satu organisasi mahasiswa di Salman, mengerjakan beberapa project, menjadi panitia berbagai event, ikut terlibat dalam penyusunan grand design kaderisasi masjid Salman hingga bekerja di masjid ini sebagai asisten manager. Jadi, seberapa radikal masjid Salman?

Pelayanan Jama'ah

Satu hal yang berkesan dari masjid Salman tidak hanya bagi saya namun juga bagi sahabat-sahabat saya yang non muslim sekalipun adalah bentuk pelayanan jama'ahnya. Terutama keberadaan teh dan kopi gratis yang bisa diminum siapapun yang berkunjung ke sana. Bahkan saya mengenal seorang teman non muslim yang sering nongkrong di selasar masjid untuk berselancar di dunia maya, memfotokopi, mengerjakan tugas sembari meminum teh dan kopi. Ia merasa nyama-nyaman saja tanpa perlu khawatir ada orang lain yang mengusir atau meneriakinya dengan kata-kata rasis maupun kasar.

Rupanya teh dan kopi ini merupakan bentuk pengamalan dari hadist nabi. Suatu ketika Sa'ad ibn Ubadah bertanya kepada Rasulullah, 

“Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memberi air.” (Shahih Abu Daud)

Bicara tentang pelayanan, Salman dengan segala keterbatasannya berusaha memberikan pelayanan prima kepada jama'ah. Kutipan menarik saya peroleh dari ketua Salman saat berbicara terkait keset masjid yang basah. Beliau berkata yang kurang lebih bunyinya, "Keset masjid kalau sudah seperti ini segera diganti, kalau sudah tidak bagus ganti dengan yang baru. Jangan sampai jama'ah ada yang terpeleset jatuh hanya karena kita tidak mengganti keset masjid." Ya, bahkan urusan keset pun menjadi masalah di sini.

Melting Pot

Masjid Salman sebagaimana bentuk atapnya yang tak berkubah namun menyerupai mangkok, sejak lama telah menjadi tempat bertemunya beragam bentuk pergerakan Islam. NU, Muhammadiyah, Tarbiyah, HTI sebelum resmi dilarang oleh pemerintah, PERSIS, salafi, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa peristiwa unik yang jarang terjadi di luar sana secara mengejutkan beberapa kali terjadi di Salman menggambarkan seberapa cairnya iklim persaudaraan yang terbangun di masjid Salman. Misalnya: menikahnya orang salafi dengan NU, masih seputar pernikahan ada pula aktivis NU yang menikah dengan kader tarbiyah, kader NU dimentor oleh kader tarbiyah dan lain sebagainya. Sementara itu dalam beragam kondisi mungkin kita melihat kelompok-kelompok tersebut tidak cukup akur dalam beragam hal. Baik dalam hal politik, fiqih atau urusan lainnya.

Wah radikal dong itu orang HTI bisa aktif di Salman? Saat belum dilarang, keterbukaan Salman terhadap latar belakang aktivitas dan gerakan jama’ahnya membuat beragam pergerakan ada di sini. Setelah dilarang? Salman juga mengambil sikap yang sama dengan pemerintah Indonesia. Kampus-kampus di Indonesia pun demikian bukan sebelum HTI dilarang? Banyak aktivis HTI bergerak di perguruan tinggi tapi tidak berarti nilai perguruan tinggi tersebut sama atau mendukung gagasan HTI.

Pernyataan sangat menarik saya dapatkan dari Dr. Syarif Hidayat, ketua Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB saat Saya mulai aktif dalam salah satu organisasi mahasiswa di sini. Kurang lebih beliau berkata,

"Salman ini ibarat gerbong kereta, siapapun dengan jaket apapun mau Anda Muhammadiyah, PERSIS, NU atau apapun itu bisa masuk ke dalam gerbung kereta kita menuju tujuan yang ditentukan Salman. Akan tetapi, saat menaiki gerbong kereta ini marilah kita tanggalkan sejenak jaket masing-masing untuk bersama-sama menggunakan jaket Salman."
 
Akhirnya, Saya merasa selama beraktivitas di Salman tidak ada satu atau dua harakah yang berebut kekuasaan di Salman. Ego pergerakan masing-masing dipaksa tunduk untuk kemaslahatan umat saat memasuki Salman. Itu sebabnya saya tidak merasakan tensi tertentu antar pergerakan meninggi di sini. Sahabat-sahabat NU dapat bermajlis di selasar Salman, sama halnya dengan tarbiyah, salafi, atau gerakan lainnya.

Dalam pelaksanaan fiqih pun cukup terbuka terhadap fiqih ibadah tiap harakah. Shalawatan, qunut, hingga beragam perbedaan fiqih ibadah lainnya tidak menjadi persoalan besar di sini. Ada kalanya imam shalat anak muda tapi ada kalanya pula orang tua, ada kalanya dari NU dan ada kalanya salafi, PERSIS, Muhammadiyah hingga tarbiyah. Tentunya sifat perbedaan fiqih di sini adalah fiqih yang masih bisa ditoleransi karena adanya perbedaan di kalangan ulama juga. Kalau bedanya sudah ekstrim seperti beda rakaat, shalat berjama'ah diimami wanita dsb tidak didapati di sini sebab hal itu juga merupakan penyimpangan dalam syariat Islam secara umum.

Cukup berbeda kejadiannya ketika saya mendengar cerita dari sahabat-sahabat di masjid kampus atau masjid masyarakat lainnya. Tak jarang masjid kampus jadi tempat memperebutkan pengaruh lintas jama'ah. Padahal masjid ini sejatinya milik Allah, milik umat Islam, maka manfaatnya pun diperuntukkan untuk umat, bukan milik segelintir kelompok saja. Sayangnya kadang ego kelompok kita mengalahkan kemaslahatan dan persatuan bersama.

----------------

Penjelasan terkait radikalnya Salman selesai sampai di sini? Belum.
Artikel bersambung berikutnya dapat dibaca di bawah yang tulisannya akan diterbitkan menyusul secara bertahap.

Ada bagian dari Salman yang hendak ditanyakan atau dibahas? Berikan masukan dan pertanyaanmu di komentar ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar