Tempat: GSS B
Waktu: 24 Maret 2017
Pemateri: Alfathri Aldin

Dewasa ini kita sering dihadapkan dengan fenomena skizofrenia kultural dalam kehidupan sehari-hari. Seorang dosen fisika misalnya. Ketika berada di kampus ia berperan sebagai seorang saintis yang memandang realitas sebagai sesuatu yang rasional namun ketika berada di salman ia berubah menjadi seseorang yang memandang realitas sebagai sesuatu yang flat.

Studi kasus: Isra’ mi’raj. Kita akan berhenti tak dapat menjawab sebuah realita rasional yang berkata bahwa kecepatan terjauh yang dapat diketahui manusia adalah kecepatan cahaya. Sehingga jika berbicara mengenai isra’ mi’raj yang berlangsung hanya dalam satu malam dari dunia ke langit ke tujuh berbagai pertanyaan akan datang seperti:
  • Jika begitu seberapa jauh langit ke tujuh?
  • Apakah langit ke tujuh amat dekat sehingga dapat dicapai dalam satu malam saja?
  • Jika berada dalam kecepatan tinggi bagaimana bisa nabi Muhammad selamat?
  • Benarkah ada perjalanan lintas dimensi atau alam sehingga yang dimaksud isra miraj adalah perjalanan lintas alam?

Renaissance menjadi awal dari keruntuhan sesuatu yang disebut sebagai hierarki realitas.
Saat ini, tokoh muslim yang dipandang sebagai muslim moderat tema pembicaraannya ada pada ranah kesalihan sosial. Sehingga topik yang dibahas tidak jauh dari tema: Pluralisme, toleransi, dialog antar agama, dan demokrasi. Tidak pernah mereka membahas kehidupan setelah kematian, adzab kubur dan sebagainya yang bersifat abstrak.

Sementara itu saat ini kita berada dalam sebuah kondisi dimana jika kita hendak membawa Islam ke ranah filsafat, maka orang-orang akan memaksa kita mengadaptasi konstruk berpikir barat untuk menginterretasi Islam. Padahal jika Islam dipaksa untuk dirasionalkan dalam artian Islam dipaksa mengadaptasi konstruk berpikir mereka maka lebih baik kita menyatakan sejak awal untuk menyingkirkan Islam dan beralih ke filsafat barat secara penuh. Sebab seorang muslim dalam memahami hal-hal tersebut tidak bisa lepas dari konstruk berpikir sebagai seorang muslim. Kenapa? Hal yang bersifat prinsip bagi kita amat berbeda.

Jalaluddin Rahmat suatu ketik pernah berkata, “Saya pernah menghadiri sebuah kuliah yang membahas mengenai isra’ mi’raj tapi hasilnya malah menjadi kuliah astronomi.”

Akhirnya untuk memahami hal yang tidak bisa kita indra atau rasionalkan kita sebut dengan istilah mistis. Mysticism, kita menutup mata. Dalam ilmu ergonomi: 80% aktivitas manusia berasal dari mata sehingga apabila seseorang kehilangan penglihatan maka ia akan menggunakan 80% potensinya untuk memaksimalkan indera yang lainnya.

Saat belajar filsafat, sejarah filsafat adalah sejarah yang banyak bercerita tentang pertengkaran. Filsafat barat sejak dahulu sibuk memperebatkan masalah subjek dengan objek. Pada abad ke 20 mulai dipahami bahwa diantara subjek dan objek ada yang disebut bahasa sebagai media yang menyambungkan antara keduanya. Semenjak saat itu muncul istilah hermeneutika. Diantara banyak hal yang dipelajari dalam filsafat, hermeneutic adalah materi yang amat dapat mengguncang seseorang.

Bahwa pengalaman membentuk orang untuk memahami sesuatu.
Bahasa latin disebut sebagai bahasa paling presisi sehingga saat ini bahasa latin banyak digunakan sebagai dasar bagi berbagai istilah dan keilmuan. Dalam bahasa latin setiap akhiran dalam suatu kata bersifat fungsional. Contoh:
Aqricola erat teram (petani membajak sawah)
Apabila dibalik struktur bahasanya akan menghasilakn makna yang tetap,
Teram erat aqricola (petani membajak sawah)
Berbeda dengan bahasa Indonesia. Ketika “petani membajak sawah” dibalik menjadi “Sawah membajak petani” maka maknanya secara besar akan mengalami perubahan.

Jika dalam filsafat terjadi perbedaan pendapat antara subjek dengan objek, pada ilmu humaniora memperdebatkan masalah struktur dan agen. Apakah agen ataukah struktur yang dapat menyebabkan suatu perubahan. Saat ini terjadi sebuah ambiguitas dalam memahami sebuah kepastian atau realitas. Padahal realitas sangat bersifat kontekstual. Variabel pembentuknya amat luas.

Dalam thesis Saya yang membahas menngenai Plato. Pada Bab dua saya tempatkan pembahasan mengenai mencari jiwa. Pengertian “diri” bagi orang-orang yang hidup di masa lalu bermakna “jiwa.” Titik realitas runtuh pada masa Renaissance. Output dari masa itu adalah bahwa realitas bersifat flat. Beda antara realitas dan materialism adalah bahwa materialism berarti sebab akibat ada di alam dan semuanya bisa dijelaskan.

Masa-masa turunnya agama adalah masa dimana realitas bersifat hierarkis. Kemunculan gagasan seperti Descartes cogito ergo sum dan yang lainnya pada abad 10-20 menyebabkan agama mulai terasa kehilangan habitatnya sebab berbicara agama dan realitas seolah hanya menghasilkan banyak dikotomi. Kemudian muslim berusaha mengcounter pemahaman itu dengan cara melakukan islamisasi. Misalnya makna superego: Tempat peyimpanan nilai-nilai yang diajarkan orang tua. Kemudian gaasan seorang pakar muslim menerjemahkan superego: Nafsul muthmainnah.

Phenomenology of Perception menghancurkan tubuh dan jiwa menjadi dua hal yang berbeda. Sementara itu pada suatu fenomena, seorang tentara bernama Schneider tekena serangan granat di bagian kepala yang menyebabkan fungsi otak terganggu. Ia adalah seseorang yang bisa membuat dompet, saat ia membuat dompet terkadang ia menggaruk-garuk diri sendiri tanpa merasakan gatal sekalipun. Saat ia diminta menutup mata dan mengangkat tangan kanan ia tidak bisa melakukannya. Untuk melakukan suatu gerak ia harus melihat anggota geraknya. Ia tidak bisa memaknai gerak abstrak seperti perasaan gatal. Penelitian serupa dilakukan pada banyak tentara yang mengalami cacat fisik akibat perang. Kesimpulan: Tubuh tidak terpisah dari jiwa.

Ilmu antropologi lahir untuk memudahkan politik kolonialisme. Saat itu yang menjadi kebutuhan utama penjajah adalah pekerja murah yang terlatih. Kemudian politik buka pintu Belanda ini justru diadaptasi dalam kebijakan kemenristekdikti kita saat ini yakni hilirisasi yang memiliki makna pendidikan bertujuan untuk mencetak pekerja industri. Tidak ada bedanya dengan Belanda. Pada akhirnya Indonesia justru mendidik seseorang untuk bisa menjadi seorang sebagai penjawab soal, bukan sebagai seorang pemilik ilmu. Ilmu adalah hak setiap orang, tidak ada batasannya. Tapi sayangnya pengalaman saya berkata lain:

Saya adalah alumni FSRD ITB, pada sebuah kelas yang berbicara fisika mengenai E=mc2 seseorang berkomentar, “Oh ya, kamu kan dulunya seni ya? Gak perlu lah belajar hal ini.” Akhirnya saya yang mencari tahu sendiri dan menemukan jawabannya dari dosen fisika ITB mengapa energi disamakan dengan massa sebuah benda. Ternyata suatu benda tersusun atas atom-atom yang terdiri dari elektron, proton dan neutron. Kesemuanya saling berinteraksi menyusun ikatan yang membentuk wujud sebuah benda bernama meja misalnya. Jika ikatan tersebut berusaha untuk dilepaskan maka akan menghasilkan energi. Ya, memang seperti itulah gaya pendidikan di Indonesia. Kita hanya diminta untuk menghafal E=mc2 namun tidak diajarkan kenapa energi dan massa memiliki hubungan yang sama sama.

Kembali ke bahasan…

Jika seorang muslim diajak berbicara mengenai feminism biasanya alurnya:
  • Ada feminism, ia diminta untuk memahami konsep egaliter, emansipasi dll
  • Memasukkan ke frame islam
  • Cocoklogi dengan teori teori yang ada

Padahal Murata dalam buku “Taoism” mengatakan bahwa relasi antara laki-laki dengan perempuan adalah komplementer seperti yin dan yang. Dalam buku lain “Sufism and Taoism” juga berbicara mengenai hal yang sama dan sejalan dengan bagaimana Islam memandang pria dan wanita. Banyak hal berupa aturan dalam Islam yang baru bisa dipahami kala kita memikirkannya tidak hanya dari satu sisi saja namun konteks yang lebih luas.
Misal dalam fiqih mengenai menggauli budak perempuan yang Islam perbolehkan. Hal ini sering dijadikan sebagai cara mempermalukan Islam. Setelah saya mempelajari lebih jauh membaca sebuah jurnal yang mengkaji aturan ini barulah saya menangis. Ternyata aturan ini ada justru untuk menghapuskan perbudakan secara halus, bukan melestarikannya.
  • Saat menggauli budak wanita rasul melarang ‘azl
  • Menyakiti budak
  • Apabila budak hamil lalu melahirkan maka ia menjadi seseorang yang merdeka. Sebagaimana Maryam Al-Qibthi yang rasul nikahi lalu melahirkan Ibrahim. Meski Ibrahim kemudian meninggal rasul berkata, “Ibrahim telah memerdekakan Maryam”

Setelah saya mengetahui hal ini saya menangis sebab dulu saya memiliki seorang pembantu yang amat setia. Hingga ia tua akhirnya ia pulang kampung ke jawa dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai perawan tua. Saya sampai berkata kepada bapak saya, “Kenapa dulu bapak tidak nikahi saja pembantu kita dan ia tidak perlu menghabiskan hidupnya tua dalam keadaan perawan tua.” Jika saja ia dinikahi mungkin hidupnya akan berbeda, ia memiliki keluarga, anak dan kehidupan yang lebih layak.

Coba pikirkan lagi kenapa ada syariat poligami? Kalau apa yang terlintas dalam benak sudah hal yang buruk maka selamat, sudah kena pengaruh pemikiran Barat yang memang setiap hari kita temukan.

Guru saya berkata kalau dosa umat Islam satu-satunya adalah menemukan Al-Jabar, tanyakan anak matematika betapa rumitnya Al-Jabar yang ditemukan muslim. Dari mana Al-jabar ditemukan? Terinspirasi dari hukum waris.

Dari mana istilah indeks yang biasa kita temukan dalam sebuah buku diturunkan? Dari kebutuhan mengelopokkan hadist pada masa dahulu.

Kenapa muslim banyak melahirkan ahli astronomi? Untuk memudahkan penentuan waktu zakat, puasa dan sebagainya.

Inilah bedanya keilmuan ketika dipegang oleh muslim dan tidak. Muslim mempelajari untuk apa? Tidak lain dan tidak bukan untuk mempermudah mereka dalam beribadah kepada Allah. Darinya tradisi menuntut ilmu hidup.

Arianism: Anti-trinitism. Galileo adalah seorang Arianism.

Tafsir Buchaelis: Metode tafsir yang mencocokkan suatu teori realitas dengan ayat-ayat tertentu. Saat tafsir Salman ditulis saya menjadi salah seorang yang mengkritisi. Kenapa? Tafsir ini amat berisiko karena membenturkan kebenaran yang bersifat abadi (Al-Quran) dengan hal yang bisa difalsifikasi. Misal dahulu diyakini kayu lebih mudah terbakar karena mengandung suatu senyawa, lalu muslim mencocokkannya dengan ayat tertentu. Kemudian muncul kembali penemuan yang mengatakan bahwa oksigenlah yang berperan membakar seseuatu, lalu dicocokkan kembali dengan ayat tertentu. Hal seperti ini hanya menimbulkan kesan bahwa Allah tidak tahu menahu mengenai ilmu pengetahuan sains.

Istilah agama samawi dan ardhi konsepnya tidak jelas dari mana ia berasal. Dalam pendapat saya banyak agama layaknya banyak merek TV yang sebenarnya menayangakan saluran TV yang sama. Mungkin pernah mendengar apa fungsi agama Islam di dunia. Fungsinya sebagai agama yang final adalah Islam hadir sebagai pengoreksi dan pembenar agama yang turun sebelumnya. Itu sebabnya terkadang ada hal yang nampak tidak begitu penting untuk tercantum dalam Al-Quran namun Allah masukkan itu dalam AlQuran sebab fungsinya adalah mengoreksi apa yang salah dari kitab terdahulu yang sudah dimodifikasi oleh manusia.

Contoh:
  • Anak nabi Nuh dalam bible: Sam Yafeth dan Ham. Dalam islam ada Kan’an maka islam membenarkan bible sehingga anak nabi nuh ada 4: Sam, Yafeth, Kan’an dan Ham.
  • Dalam bible yang disembelih oleh nabi Ibrahim adalah ishaq. Dalam Islam yang disembelih adalah ismail.
  • Dalam bible musa memasukkan tangannya ke ketiak lalu mengeluarkan penyakit kusta. Dalam Al Quran diceritakan bahwa yang dikeluarkan adalah cahaya
Lalu jika demikian bagaimana cara kita mampu memadukan antara pemikiran Barat dengan prinsip Islam? Jawabannya ada pada konsep ruh, jiwa dan jasad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar