Asa adalah seorang muslim yang dibesarkan di tengah keluarga dengan latar belakang Islam yang heterogen. Keluarga besar ayah terdiri dari Muhammadiyah, Salafi dan Tarbiyah. Sementara itu keluarga besar ibu terdiri dari Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Keluarga kecilnya? Salafi. Pun demikian alhamdulillah kami semua dapat hidup dalam sebuah keluarga besar yang akur. Bagaimana dengan latar belakang pendidikannya? Selama Asa bersekolah di jenjang dasar, menengah hingga atas, ia banyak menuntut ilmu dari tempat-tempat dengan background salafi. Wajar jika hingga awal kuliah ia masih banyak mengikuti pendapat asaatidz Salafi. Namun, semua berubah saat ia mulai mempelajari fiqih madzhab. Ia menjadi merasa sudah bertindak jahat dengan mengecap beberapa 'amaliyah ibadah sebagai tindakan bid'ah. Padahal tidak semuanya seperti itu.

Setelah mempelajari fiqih madzhab walau tidak dengan tekun sebab fiqih bukanlah bidang keilmuan yang kini tengah ia geluti, pikirannya mengenai pendapat fiqih berubah. Ia mulai bisa membedakan mana perkara yang ushul (pokok) dan mana perkara yang sifatnya furu' (cabang). Sebab kegagalan dalam memahami kedua perkara ini dapat menyebabkan banyak perselisihan padahal keduanya memerlukan sikap berbeda. Bagaimana cara membedakan pokok dan cabang? Kunjungi link ini

Pada perkara ushul segala sesuatu sifatnya baku benar salah. Dalam perkara ini kita perlu bersikap tegas ketika menemukan perbedaan. Berbeda dengan ushul, furu adalah perkara-perkara yang merupakan rincian dari agama. Sifatnya cabang dan penuh dengan alternatif sehingga banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan 'ulama kala membahas perkara furu'. Pada perkara ini ranah tindakan seorang muslim adalah tasammuh, bertoleransi terhadap perbedaan.

Cobalah bayangkan jika perkara-perkara cabang dianggap sebagai perkara pokok. Hasilnya adalah ketegasan yang melampaui batas, ke-ngotot-an luar biasa, penilaian membabi buta. Padahal perkara cabang itu amat banyak sekali. Sebagai gambaran lihatlah ilmu fiqih yang begitu luas perbedaannya. Amat sangat merepotkan ketika perkara yang begitu luas dibatasi dengan pendapat tertentu saja dan inilah konstruk berpikir yang Asa dapatkan selama menuntut ilmu bertahun-tahun. Banyak perkara yang sudah selesai dibahas oleh 'ulama salaf kemudian diangkat kembali kasusnya pada zaman sekarang hingga keluar pendapat-pendapat yang sifatnya syaadz, berbeda. Sebagai contoh

Dahulu saya berpikir bahwa melafalkan niat sebelum ibadah adalah suatu bid'ah. Padahal, dalam madzhab syafi'i hal itu disunnahkan. Menurut madzhab Syafi'i, menggerakkan telunjuk saat shalat adalah makruh. Masih menurut madzhab Syafi'i:
  1. Sujud dilakukan dengan cara merenggangkan kaki. [1]
  2. Mengeraskan suara dzikir setelah shalat dibolehkan. [2]
  3. Adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri bayi yang baru lahir adalah sunnah [3]
  4. Hukum asal maulid boleh. Menjadi baik jika diiringi kebaikan, menjadi buruk bila diiringi keburukan. [4]
Dan masih ada lebih banyak lagi perkara dalam madzhab Syafi'i yang dianggap bid'ah padahal merupakan sunnah. Kok semuanya madzhab syafi'i? Ya sebab Indonesia adalah negri dengan penganut mayoritas penganut madzhab Syafi'i sehingga menjadi keutamaan yang lebih saat kita mempelajarinya. 

Setelah mempelajari berbagai fiqih Syafi'i ini, seharusnya kita menjadi lebih lunak dan bersikap toleransi terhadap perkara fiqih yang ada pada madzhab ini. Tidak lagi membid'ahkan, terlebih memusuhi orang-orang yang melaksanakannya. Melihat berbagai pendapat Imam Asy-Syafi'i di atas, manakah bagian umat yang banyak mengamalkannya? Nahdatul 'Ulama. Baarakallaahu fiik.

Rujukan:
[2] Imam Nawawi - al-Majmu' 8/442
[3] Al-Mu'tamad Fi Al-Fiqh Asy-Syafi'i, karya Syaikh Muhammad Az-Zuhaili, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, Cet. Ke-3, tahun 2011, Juz 1, hlm. 314.
Al-Fiqh Al-Manhaji 'Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, karya Syaikh Mushthafa Al-Khin, Syaikh Mushthafa Al-Bugha, dan Syaikh 'Ali Asy-Syarbaji, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, Cet. Ke-14, tahun 2013, Juz 1, hlm. 158.
Al-Fiqh Asy-Syafi'i Al-Muyassar, karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Cet. Ke-1, tahun 2008, Juz 1, hlm. 203.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar