Hal menarik Asa dapatkan dalam agenda penutupan SPI Moh Natsir angkatan ketiga semester satu yang dilaksanakan di Villa Bunga hari Sabtu tanggal 12 Agustus yang lalu. Agenda mabit dilakukan dengan mengangkat beberapa topik pembahasan untuk didiskusikan bersama-sama. Diawali dengan topik khilafah islamiyah serta apa yang ada di balik propaganda antikhilafah di Indonesia, hingga ditutup dengan diskusi mengenai keputusan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia yang mengundang tokoh girl band SNSD dalam acara countdown SEA Games 2017. Topik bahasan terakhir mengenai SNSD menyisakan salah satu kesimpulan yang membuat kita perlu mengelus dada dan berjuang lebih keras lagi, "Jangan-jangan bukan hanya pemerintah yang kontra terhadap Islam, masyarakatnya pun sama." Mengapa bisa sampai pada kesimpulan itu?


Dua minggu ke belakang, kita dihebohkan dengan berita rencana Bekraf mengundang artis papan atas Korea dari girl band SNSD. Rencana tersebut langsung mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat di Indonesia. Ibu Maimun, dosen ilmu jurnalistik UNPAD serta Ibu Elly Risman, psikolog sekaligus pakar parenting Indonesia menolak rencana tersebut. Petisi dibuat, tanggapan ketidaksetujuan dilayangkan melalui media sosial. Hasilnya?

Akun Ibu Maimun beberapa kali terkena usaha diretas hacker yang mendukung kedatangan SNSD ke tanah air. Ibu Elly Risman menjadi bahan bullyan warganet Indonesia di media sosial. Ah, memang standar orang tua yang mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya berbeda dengan ABG yang merasa hitz kemarin sore.

Fakta lain yang menarik dapat kita temukan di media sosial menyikapi isu kedatangan SNSD. Ditemukan beberapa komentar seperti,

"Anak saya menonton SNSD, tapi tetap berprestasi kok di sekolah."
"Saya suka film korea tapi merasa biasa-biasa aja. Gak jadi pecandu porno."
"Lebay amat si ibu, biasa aja kali."

Dan komentar-komentar lainnya yang senada. Subhaanallah. Memang standar kita berbeda. Teringat satu kata yang ibu Elly Risman sampaikan pada seminar parenting tentang gadget sehat,


"Bahaya sebenarnya adalah ketidaksadaran kita bahwa sesuatu itu merupakan sebuah bahaya."



Hal yang sama terjadi saat kita mengamati respon masyarakat terhadap kasus Caisar yang kembali manggung di dunia hiburan setelah hampir dua tahun berhijrah dari dunia panggung. Berkali-kali kita temukan "amukan masa" kepada istri dari Caisar yang meminta ia untuk tidak kembali ke dunia panggung. Alasannya?

"Ah terdrama banget nih."
"Suami lagi nyari nafkah halal kok dilarang."
"Sewot amat si istrinya."

Dan komentar-komentar lain yang senada (lagi). Subhaanallah (lagi)

Secara hukum, profesi yang dapat membuat seseorang lalai dari kebaikan atau bahkan justru mengundang pada kemaksiatan memang tidak bisa dijadikan tempat mencari nafkah. Dari sisi mana kita menilai profesi penghibur di atas panggung mampu mendekatkan orang-orang pada takwa? "Ah lu juga sama aja Sa, lebay juga." Memang standar kita berbeda. Sama halnya ketika kita menilai kasus SNSD.

Dari pengamatan singkat di dunia maya kita dapat melihat degradasi standar ini. Di dunia nyata pun demikian dan hal ini terjadi di semua tempat tidak hanya di Indonesia. Di mana pakaian terbuka disebut sebagai kebebasan berkespresi sementara berkerudung dinilai sebagai opresi, menyuarakan ide-ide komunisme liberalisme disebut sebagai hak berpendapat sementara menyuarakan ide-ide Islam disebut sebagai tindakan intoleran.

Solusinya? Pendidikan dan dakwah. Agar umat tercerdaskan. Tidak antipati terhadap gagasan-gagasan keislaman. Tugas kita masih panjang bukan? Allahumma anugerahkanlah sikap hanif kepada 'ulama kami, guru-guru kami, orang tua kami, pemimpin kami, generasi kami. Bimbinglah mereka selalu dan kuatkan mereka semua dengan keistiqamahan. Semoga Allah bantu kita semua memantaskan diri sehingga muncul pemimpin-pemimpin yang adil dan takut kepada-Mu.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar