Beberapa waktu yang lalu, meski hanya iseng saja saya menulis beberapa bait sesuka hati, saya menyadari bahwa saya melakukan kesalahan. Seharusnya kesalahan ini tidak dilakukan, apalagi oleh seorang penuntut ilmu. Saat itu saya menulis,

Namun, sekarang sudah berbeda
Terkadang untuk membeli buku saja
Ia harus berpikir esok makan makanan yang dapat memanjakan lidahnya
Atau hanya makan dengan nasi dan telur yang bersahaja

Namun, sekarang sudah berbeda
Terkadang untuk membaca buku saja
Ia harus beralih untuk membaca buku teks pelajaran kimia
atau mengerjakan laporan, jurnal dan tugasnya
Agar esok hari dosen tidak murka

Kecintaan terhadap ilmu, sebagaimana kita dapati dari kisah-kisah para 'ulama terdahulu memang membutuhkan pengorbanan dan pembuktian bahwa kita mencintainya. Maka mencintai ilmu berarti membenci apa-apa yang menghalangi kita dari memperoleh keutamaan ilmu. Maka mencintai ilmu berarti berusaha dan berkorban untuk dapat memperoleh apa yang kita cintai. Baik itu berkorban harta, waktu hingga nyawa sekalipun.

Saya telah menuliskan sebuah kesalahan yang seharunsnya tidak ditulis oleh seorang penuntut ilmu...

Padahal Imam Asy-Syafi'i sudah mengatakan dengan jelas bahwa syarat menuntut ilmu ada enam: kecerdasan, rakus akan ilmu, kesabaran, harta, guru dan waktu. Memang berbeda sekali penghayatan akan ilmu yang dimiliki imam Asy-Syafi'i dibandingkan dengan kita saat ini. Kehidupan beliau telah menempa pribadinya menjadi sosok yang amat menghargai ilmu. Sejak kecil beliau hidup yatim dan tiada memiliki apa-apa. Ibunya dengan sabar dan tulus senantiasa mendidik imam kecil ini untuk senantiasa mencintai ilmu dan mencintai orang-orang yang memiliki ilmu. Hingga dewasa, kelak jasa dari seorang ibu ini diabadikan oleh imam Asy-Syafi'i dengan menulis sebuah buku yang beliau beri judul sebagai kitab Al-Umm (Ibu). Tabaarak Ar-Rahmaan

Saya telah menuliskan sebuah kesalahan yang seharunsnya tidak ditulis oleh seorang penuntut ilmu...

Padahal para penuntut ilmu terbaik sepanjang zaman rela bepergian jauh dari tempat kelahirannya. Meninggalkan sanak saudara serta keluarga tercinta. Meninggalkan perbendaharaan harta benda yang dimilikinya. Semua dilakukan meski hanya untuk memperoleh satu hadist atau bahkan potongannya saja. Mereka rela berlayar melalui selat Hispania hingga mencapai Qordoba meski harus melewati bajak laut yang dapat menyerang kapan saja. Mereka rela bepergian di tengah gurun dengan atau tanpa menggunakan tunggangannya, meski perampok atau serangan ketika melewati daerah perbatasan menjadi ancaman yang amat nyata di depan mereka.

Begitu besar kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu, sementara kita...
Dengan toko buku yang melimpah masih saja malas
Dengan adanya ebook yang bisa diakses melalui gadget masih saja beralasan
Dengan kondisi menuntut ilmu yang kondusif masih saja faqir syukur
Rabbi, istiqamahkan langkah para penuntut ilmu

Jika memang harga yang harus dibayar untuk mendapatkan ilmu adalah memakan hidangan bersahaja, mengapa tidak? Bukankah berilmu lebih utama daripada berharta? Jika memang menuntut ilmu syar'i bentrok dengan aktivitas akademik, korbankan waktu lain, luangkanlah agar keduanya tetap bisa berjalan dengan baik. Yuk, menjadi rembulan yang lebih utama daripada bintang gemintang yang bertebaran di angkasa menghiasi langit malam.

"Kelebihan seorang 'alim terhadap seorang ‘abid ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang."
(HR. Abu Dawud )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar