Ahad siang yang cerah menghidupkan semangat beberapa pemuda untuk menghadiri majelis ilmu rutin mereka, mentoring keluarga. Dalam mentoring ini, mereka berguru kepada kang Muhammad Firman, seorang praktisi talents mapping sekaligus pegiat topik keluarga. Dalam pertemuan terakhir itu, sang mentor mengajak peserta untuk berpikir lebih jauh tentang, "Apa tujuan akhir yang kita harapkan dari sebuah pernikahan?"

Beberapa orang terlihat menyernyitkan dahi tanda berpikir, sebagian yang lainnya memandangi langit. Mungkin ia berharap langit dapat memberikan jawaban kepadanya.

"Keluarga yang shalih" ujar salah seorang peserta
"Kehidupan yang barakah" sambut yang lainnya
"Ridha Allah" jawab seorang pemuda

"Benar," sahut sang mentor, "jika kita tarik lebih jauh mengenai apa yang kita cari dari sebuah pernikahan, kata ridha merangkum berbagai hal. Pernikahan diawali dengan niat memperoleh ridha Allah bukan?" Ya, tentu. Kita semua harus mengawali segala bentuk ibadah dan amal dengan tujuan yang benar. Merupakan kemenangan seorang muslim di akhir kala ia mampu menempatkan Allah di awal. Ridha pula yang menjadikan ustadz Fauzil Adhim dengan tegas mengatakan, "Jika dalam sebuah kegiatan pranikah terdapat 10 pertemuan, maka 7 pertemuannya saja harus memantapkan peserta agar meluruskan niat!"

Sang mentor kembali mengajak peserta berpikir. "Pernikahan sendiri sebenarnya berbicara tentang saling ridha. Seorang suami ridha menjadikan seseorang menjadi istrinya, maka ia menerima dengan sepenuh hati segala kelebihan dan kekurangan istrinya. Begitu pula istri, ia ridha dengan apa yang ia terima dari suaminya."

Peserta mulai mengangguk-angguk tanda mengerti. Memang rasanya pernikahan merupakan bahasa keridhaan. Sesuatu yang dimulai dengan niat lurus untuk mengharap ridha dari yang Maha Mulia agar dimuliakan oleh-Nya hingga surga. Ia adalah bahasa penerimaan, menerima dengan penuh kesadaran tanggung jawab besar untuk menjadi qawam bagi pihak wanita, juga penerimaan dengan sadar untuk bisa memberikan yang terbaik kepada pihak pria. Indah sekali bukan?

Lalu dalam mentoring terakhir itu, sang guru bertanya kepada murid-muridnya
"Termasuk bentuk keridhaan, yakni menerima keluarga pasangan sepenuhnya. Bayangkanlah saja, seorang Buya Hamka yang kita kenal sebagai ulama bahkan kakak kandungnya sendiri adalah seorang pastur. Bagaimana kalau kejadiannya begitu?"

Beberapa peserta menunduk dan menggelengkan kepala, tapi peserta yang satu ini justru menyambut pertanyaan sang guru, "Kang Firman, bukannya malah bagus ya kalau begitu?" Gurunya kembali bertanya, "Mengapa?" Murid ini menjawab, "Sebab satu keluarga ulama semua kang. Yang satu ulama Islam, yang satu ulama kristen."

Sang mentor tertawa, "Duh saya suka selera humor kamu, bagaimana? Sudah punya calon?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar