Tahun 2006 yang lalu sebuah kasus kriminal menggegerkan banyak orang. Seorang ibu didapati membunuh ketiga orang anaknya. Dahulu, Sang Ibu merupakan aktivis di masjid Salman ITB, bahkan suaminya saat itu masih menjadi aktivis di masjid Salman. Ketika kasus itu terjadi, seorang psikolog bernama Adriano Rusfi yang akrab dipanggil dengan sapaan Bang Aad terpancing untuk mencari tau lebih lanjut apa yang menyebabkan seorang Ibu membunuh ketiga orang anaknya.

Setelah ditelusuri lebih jauh, sang Ibu menjawab bahwa ia merasa tidak akan sanggup mendidik anak-anaknya menjadi anak yang shalih. Di zaman yang kala itu rasanya potensi keburukan semakin menjadi-jadi akibat efek globalisasi, ia merasa seperti mendidik anak-anaknya seorang diri. Ia pun berpikir, "Daripada gagal mendidik anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan mereka durhaka, bukankah akan lebih baik selagi belum aqil baligh mereka mati? Saya bunuh saja agar mereka masuk surga, dan biarkan ibu mereka masuk neraka."

Dari kejadian itu, ada hal yang membuat bang Aad resah. Terasa epik sekali bukan? Seorang ibu bahkan rela mengorbankan dirinya masuk ke dalam neraka agar anak-anaknya masuk ke dalam surga. Tapi tunggu, ada yang menjadi masalah di sini. Tentu bukan seperti itu seharusnya cara kita berpikir. Ada yang salah. Kemana peran Ayah sampai sang Ibu merasa mendidik anak-anaknya seorang diri?

Jika ingin menyalahkan, ingin rasanya bang Aad menyalahkan sang Ayah. Selama ini apa yang ia lakukan dalam pendidikan keluarga? Berkecamuk perasaan dalam dada. Tapi beliau paham, hal ini harus dihambat, harus disampaikan, agar tidak ada lagi kejadian serupa di kemudian hari. Muncullah sebuah tulisan melegenda di kolom harian Pikiran Rakyat, judulnya...

"Dicari Lelaki Luqmanul Hakim"

Di kemudian hari, muncullah sebuah komunitas yang bergerak dalam parenting bagi laki-laki, Majelis Luqmanul Hakim. Tujuan munculnya majelis ini adalah mengingatkan kembali peran Ayah dalam pendidikan anak

***

Sebuah tanya kemudian terlintas dalam benak kita, seperti apa peran Ayah dalam pendidikan anak? Apakah benar kewajiban mendidik anak ada pada Ibu sementara kewajiban utama Ayah adalah mencari nafkah?

Bukalah Al-Qur'an, kemudian cari di dalamnya siapa saja tokoh pendidikan dalam lingkungan keluarga. Ternyata yang muncul di sana adalah nama-nama seperti Luqman Hakim, Nabi Ibrahim, Imran, Nabi Zakaria, Nabi Ya'qub yang kesemuanya merupakan seorang laki laki. Justru bukan wanita.

Mengapa tokoh pendidikan dalam Al-Qur'an justru dipegang oleh seorang laki-laki? Sebab dalam sebuah keluarga, Ayah dan Bunda berbagi peran. Ayah pemegang peran strategis, sementara Bunda adalah pemegang peran praktis.

Video Nou'man Ali Khan saat menjelaskan Al-Qur'an surat Al-Ahqaf ayat 15-18 menceritakan kepada kita kisah tentang seorang anak yang dahulu rajin dalam beribadah, berbakti kepada kedua orang tuanya namun di kemudian hari ia justru mengatakan, "Ah" saat orang tuanya mengajarkan kepada anaknya tentang agamanya. Dari penjelasan tersebut beliau mengatakan bahwa mendidik anak tidak bisa dilakukan dengan cara asal berbicara dan asal mendidik. Perlu segala sesuatu yang tepat yang dalam bahasa arab disebut sebagai mauidhah. Maknanya, mendidik perlu dilakukan dengan menggunakan strategi, ada metodenya, ada tahapan serta kurikulumnya. Sebab agama tidak bisa diajarkan dengan metode dicerewetin, semakin dicerewetin, maka akan semakin jauh dan muak seorang anak dengan agama.

Itulah sebabnya peran Ayah sebagai pemegang fungsi strategis amat penting dalam keluarga. Sebab Ayah merupakan seorang silent educator. Pengajar yang mendidik anak melalui metode diamnya, keteladanannya, ucapan singkat penuh makna.

Terdapat banyak peran dalam pendidikan keluarga yang sesuai dengan karakter umum seorang Ayah. Di antaranya pendidik nilai nilai ego dan individualis. Mengapa?

Jika didapati pada suatu kesempatan seorang anak sudah diajarkan dengan lengkap seputar agamanya oleh bundanya, kemudian saat sang anak bertemu dengan sahabatnya ia ikut terwarnai dengan keburukan yang mereka bawa maka dalam keadaan seperti itu anak bukan pihak yang bermasalah. Masalahnya ada pada pendidikan keluarga, mengapa sang anak tidak diajarkan nilai nilai ego dan individualitas? Kenapa hanya diajarkan akhlaq saja? Ternyata pemegang peran pendidikan ego adalah Ayah. Ayah mengajarkan nilai-nilai perlawanan, nilai yang menunjukkan bahwa diri seorang anak itu berbeda dan ia punya warna. Itu sebabnya beberapa kalimat khas seorang Ayah adalah,

"Nak, kalau kamu disakiti orang lain, lawan!"
"Nak, kalau kamu dipukul orang, hantam aja balik pukulannya!"

Amat berbeda dengan seorang Ibu yang cenderung memiliki sifat sosialitas. Itu sebabnya seorang Ibu akan banyak mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kekompakan, sinergi, harmoni. "Jika bisa berdamai jangan membuat konflik baru."

Masalahnya anak-anak bandel memiliki ego yang amat kuat sementara anak baik seringkali memiliki ego yang rendah. Siapa pendidik nilai ego? Ayah.

Untuk dapat memiliki peran yang benar sebagai seorang pemegang fungsi strategis dalam keluarga, setidaknya ada dua poin besar aktivitas yang perlu dimiliki seorang Ayah, yakni ayah sebagai:

  1. School of Thinking. Ayah adalah tempat sang anak ditempa pemikirannya, diajak untuk bersama memikirkan kehidupan dan apa yang terjadi di sekitarnya. Oleh karenanya sebelum itu seorang Ayah harus mampu memiliki cara berpikir seorang Ayah. Berbagai miskonsepsi pendidikan anak dalam benak Ayah harus diluruskan, termasuk perlu juga dilakukan konstruksi berpikir yang benar dari seorang Ayah terhadap konsep pendidikan dalam keluarga
  2. Experimental learning. Ayah di sini memiliki peran sebagai arsitek yang merekonstruksi pengalaman yang diterima seorang anak. Ayah berperan mengajarkan anak melalui cara tasking, berlanjut menjadi behaving, experiencing, hingga sang anak melakukan proses learning di akhir.
Bicara soal pendidikan anak memang tidak bisa diselesaikan dalam sekali duduk atau sekali baca. Pendidikan anak berbicara bukan dalam ukuran waktu tapi intensitas. Itu sebabnya kaderisasi terbaik terdapat pada lingkungan keluarga. Maka dari itu, mari belajar menjadi seorang Ayah yang baik sebagaimana Luqmanul Hakim.

--------------------------------
Majelis Luqmanul Hakim
Pena 1. Dicari, Lelaki Luqmanul Hakim
Pena 2. Luqmanul Hakim dan Peran Ayah dalam Pendidikan Anak
Pena 3 Ayah, Arsitek Visi Keluarga
   - Merancang Visi Keluarga
Pena 4. Pendidikan Iman
   - Metode Pendidikan Iman kepada Anak
   - Membangun Mahabbatullah
Pena 5. Sang Raja Tega
Pena 6. Konsultan Bunda
Pena 7. Pendidik Kemandirian
Pena 8. Penanggungjawab Pendidikan
Pena 9. Pendidik Sistem Berpikir
Pena 10. Pendidik Kewirausahaan
Pena 11. Smart Mencari Nafkah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar