Di tengah derasnya arus pemikiran yang ada di sekeliling kita, menjadi penting untuk seorang muslim agar lebih memahami tujuan syariat Islam. Tujuan syariat Islam (maqashid syari’ah) yakni, memelihara agama (حفظ الدين), menjaga individu (حفظ النفس), memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keturunan (حفظ النسل) dan menjaga harta (حفظ المال). Memahami dan memaknai hubungan antara ditetapkannya suatu syariat dalam agama Islam dengan maqashid syari’ah dapat memberikan kejelasan dan keyakinan bagi seorang muslim dalam melaksanakan syariat yang diperintahkan. Meski demikian, titik berat kita hendaknya tidak hanya ada pada “apakah suatu amal ibadah dapat memberikan manfaat yang konkrit bagiku” akan tetapi meyakini pula dengan worldview Islam bahwa perintah yang Allah dan Rasul-Nya berikan merupakan tata acara hidup yang benar sesuai fitrah manusia.

Saat membicarakan topik agama Islam, salah satu titik yang seringkali dijadikan bulan-bulanan bagi para pembencinya adalah topik mengenai wanita. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan dalam syariat Islam terdapat banyak tema ibadah amaliyah dan muamalah yang membedakan perlakuan antara pria dengan wanita. Pembedaan perlakuan antara pria dengan wanita dalam syariat Islam sering dinilai sebelah mata dengan tuduhan diskriminasi gender sehingga feminis mempertanyakan keadilan agama Islam dalam menempatkan posisi pria dan wanita. Padahal adil bukan berarti 50:50, definisi proporsional dan sesuai dengan subjek subjek yang terlibat di dalamnya lebih tepat untuk menerangkan makna adil. Mempelajari topik wanita dalam Islam pun menjadi penting bagi muslim untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan penjelasan yang komprehensif dan holistik.

Sachiko Morata dalam The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought mengistilahkan perbedaan antara pria dengan wanita ibarat Yin dan Yang yang mana antar satu dengan yang lainnya bersifat komplementer, saling melengkapi hingga keduanya menciptakan keseimbangan hidup. Tashihiko Izutsu dalam Sufism and Taoism juga menerangkan hal yang senada dengan pendapat Sachiko Morata kala membahas hubungan antara pria dan wanita. Terdapat banyak hal berupa aturan dalam Islam yang baru bisa dipahami kala kita memikirkannya tidak hanya dari satu sisi saja namun konteks yang lebih luas.

Sebagai contoh, dalam fiqih terdapat syariat yang menghalalkan seorang majikan untuk menggauli budak perempuan. Bagi seseorang yang melihat Islam dari luar dan belum mempelajari maqashid Syariah, hal ini tentu akan nampak sekilas sebagai sebuah tindakan yang aneh. Akan tetapi syariat yang ada dalam Islam tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang saja sebab ia merupakan sebuah kesatuan yang menyeluruh. Jika ditelaah lebih dalam, syariat diperbolehkannya seorang majikan menggauli budak perempuan justru ditujukan untuk menghilangkan perbudakan itu sendiri melalui cara yang halus. Kesatuan syariat Islam pada kasus ini dapat dilihat dari penjabaran sederhana berikut:

  1. Saat menggauli seorang wanita, terdapat syariat yang melarang seorang pria untuk melakukan tindakan ‘azl (mengeluarkan sperma di luar rahim). 
  2. Meskipun menghalalkan adanya perbudakan, Islam mengatur interaksi seorang majikan terhadap budaknya seperti larangan menyakiti budak serta kewajiban memberi makan dan pakaian yang sama dengan makanan dan pakaian yang dikenakan sang majikan. Bahkan keadaan budak dengan perlakuan seperti ini masih jauh lebih baik daripada keadaan pembantu rumah tangga di zaman sekarang. 
  3. Apabila seorang budak hamil hingga melahirkan, maka anaknya akan menjadi seorang muslim dengan status merdeka, tidak menjadi budak dari majikan. Nasab pun bersambung kepada sang Ayah sehingga berhak atas warisan dan nafkah sebagaimana anak kandung dari seorang istri yang merdeka. 

Kasus yang lainnya dapat ditemukan dalam disyariatkannya seorang istri untuk mentaati suami. Jika diperhatikan secara lebih jauh maka korelasi hubungan antara pria dan wanita dalam hal hak dan kewajiban ini dapat menemukan titik keseimbangan saat dihubungkan dengan kewajiban antar seorang anak laki-laki untuk berbakti kepada ibunya. Bahkan bakti seorang anak laki-laki kepada seorang ibu tidak berhenti setelah ia memiliki keluarga sendiri melalui pernikahan. Dengan demikian dapat kita tarik hubungan bakti seorang laki-laki kepada perempuan dan juga hubungan ketaatan seorang perempuan kepada laki-laki.

Kasus terakhir yang sering digunakan dalam topik bahasan wanita adalah menikahi lebih dari satu orang istri atau poligami. Syariat poligami mejadi salah satu syariat penting dan berat yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang memiliki niat melaksanakannya. Sebab tuntutan dalam pelaksanaan poligami besar untuk bisa membagi keadilan kepada seluruh istri yang dinikahi. Sehingga syariat poligami pun bukan merupakan syariat yang bisa seenaknya diterjang untuk memuaskan nafsu kaum laki-laki. Selain itu bila ditarik kembali tentang bagaimana hal yang terjadi sebelum Islam hadir di tengah masyarakat jahiliyah, praktik poligami sudah terjadi sebelum Islam ada. Bahkan dalam praktik poligami yang terjadi di masyarakat pada masa itu, banyak sekali ditemukan praktik poligami lebih dari 4 istri. Belum lagi ditambah dengan perlakuan semena-mena dari para suami kepada istrinya. Kemudian Islam datang memberikan Batasan beristri serta meninggikan batas-batas keadilan serta derajat wanita.

Islam memang memandang laki-laki dan perempuan sebagai dua orang pribadi yang berbeda sebab memang seperti itulah fitrah keduanya sebagai makhluk hidup dengan karakter dan kapabilitas berbeda. Hal tersebut secara detail dibahas oleh John Gray dalam buku Men are from Mars and Women are from Venus beserta riset yang mendukung di dalamnya. Dalam buku tersebut John Gray secara rinci membahas berbagai macam perbedaan antara pria dan wanita, memberikan kepada kita gambaran detail betapa berbedanya kedua makhluk ini. Sekarang pertanyaanya, masihkah bisa disebut adil ketika menyamakan peran, hak dan kewajiban antara pria dan wanita sementara keduanya adalah makhluk yang jelas amat berbeda?

Setelah membaca beberapa kasus yang terjadi di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya bagi kita memahami tujuan dari ditetapkannya suatu syariat. Saat kita memahami syariat yang diperintahkan maka propaganda yang dilakukan untuk menumbuhkan keraguan kepada seorang muslim dalam beragama dapat dengan mudah dihalau. Memang sejak awal Islam Allah rancang untuk dapat memenuhi fitrah makhluk hidup sehingga saat ditelaah lebih jauh kita dapat menemukan keterkaitan antara syariat dengan fitrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar